Selasa, 28 Oktober 2008

BAGIAN 1: Skenario Penangkapan

Penangkapan tokoh PDP, yakni Theys Eluay, Thaha M. Alhamid, Pdt. Herman Awom, Jhon Mambor dan Don Flassy menandai perjalanan panjang PDP dalam ‘penjara kecil’. Peristiwa ini diawali dengan penangkapan terhadap Thaha M. Alhamid pada 28 November 2000, ketika satu pasukan mobil TKP dari Ditserse Polda Papua mendatangi rumah yang saat itu ditempati Thaha M. Alhamid, di Bucen II No. H 6 Entrop, Jayapura. Tim Serse Polda Papua menyampaikan Surat Perintah Penangkapan. Ketika itu, pihak Polda berjanji, bahwa beliau hanya dimintai keterangan. Kala itu sempat terjadi perdebatan, namun kemudian Thaha M. Alhamid ikut ke Polda Papua dengan menggunakan mobil sendiri.


Setelah diperiksa selama kurang lebih 4 jam, Thaha M. Alhamid tidak diijinkan pulang dan langsung diberikan Surat Perintah Penahanan (Sprin-Han/09/XI/2000/Dit Serse). Thaha dan teman-teman PH yang mendampingi terkejut, seorang teman PH mendatangi ruangan Tukarno, Direskrim Polda Papua untuk melakukan pembicaraan, namun pihak Polda bersikeras melaksanakan kewenangannya sesuai dengan ‘perintah’ yang diterima dari atasan. Istri Thaha M. Alhamid datang untuk bertemu suaminya dan membicarakan persiapan dan tindakan yang akan dilakukan setelah menerima Surat Perintah Penahanan. Saat itu skenario penahanan bahkan persidangan PDP sudah dimulai.

Keesokan harinya, pihak Serse Polda Papua bertemu Theys dan memintanya datang (diperiksa) di Polda Papua. Mengetahui pengalaman yang terjadi pada rekannya, Thaha M. Alhamid, Theys menyatakan bersedia datang ke Polda asalkan hanya memberikan keterangan dan tidak ada penahanan. Pihak Reskrim Polda menyetujui usul tersebut, dan Theys kemudian datang. Akan tetapi setelah diperiksa, hal yang sama dialami pula oleh Theys, diberikan Surat Perintah Penahanan. Theys sangat marah, sambil mondar-mandir di ruangan Serse. Theys tidak berhenti mengomel, tapi tidak ada satu pun orang yang berani mendekat. Theys sempat menelpon istrinya dan mengatakan, “lihat saja nanti, mereka akan bawa pulang kami dengan mobil mayat...”. Polda Papua dianggap telah ingkar, dan Direskrim mengelak serta mengatakan bahwa kesepakatan memang telah berubah.

Hari berikutnya tim Serse Polda Papua kembali melanjutkan skenario penangkapan. Kali ini terhadap Jhon Mambor, seorang mantan tahanan politik di tahun 1980-an, dan penah mendekam di penjara Kali Sosok selama belasan tahun. Pria pendiam ini dijebak juga dalam proses pemeriksaan. Saat itu Tim PH kembali menentang sikap Polda dan menyatakan bahwa Polda melakukan semua ini atas ‘pesanan tertentu’ tanpa memperhatikan kondisi riil di masyarakat. Sebab setiap orang yang dipanggil untuk diperiksa sudah ada skenario untuk ditahan, siapa yang memesan skenario ini?
Di hari yang sama, aparat kepolisian dari satuan Serse Polda Papua menangkap Don Flassy di pelataran parkir Bapedda, Kantor Gubernur Papua, tempat kerja Don Flassy. Don Flassy sangat marah menuduh Polda tidak memiliki etika, melakukan penangkapan di tempat umum, memperlakukan dirinya seperti penjahat yang melakukan pembunuhan.

Pendeta Herman Awom adalah orang yang terakhir ditangkap (menyerahkan diri). Ketika mengetahui ke empat tokoh PDP telah ditangkap, beliau sudah menduga bahwa proses pemanggilan yang dilakukan terhadap dirinya akan juga mengalami nasib yang sama. Saat itu beliau sedang menghadiri sidang tahunan di Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga. Melalui komunikasi yang dilakukan antara PH, pendeta Herman Awom dan pihak Polda, maka direncanakan waktu dan proses untuk ‘memenuhi’ panggilan Polda Papua tersebut. Inti kesepakatan itu adalah agar tidak dilakukan penangkapan terhadap beliau di saat turun dari pesawat di Bandara Sentani.
Pendeta Herman Awom tiba di Jayapura pada 5 Desember 2000, setelah dijemput oleh PH dan keluarga, rombongan menuju kantor Sinode GKI di Argapura, untuk mengadakan pertemuan singkat, baru kemudian ramai-ramai mengantar beliau ke Polda Papua. Waktu itu, hari sudah menjelang sore.

Saat memasuki pelataran Polda, pendeta Herman Awom yang mengenakan jubah pendeta bersikap sangat tegang. Di ruang teras Ditserse Polda, sebelum pemeriksaan dilakukan, pendeta Herman Awom mengangkat tangan sebagai mana laiknya seorang pendeta di mimbar. Menurut Thaha M. Alhamid, sikap itu hanya bermakna dua, jika tidak memberikan berkah maka akan mendatangkan bencana. Dan jatuhnya pesawat yang membawa Muspida Papua pada 8 Januari 2001 silam, diyakini oleh kelima tokoh PDP sebagai salah satu dari ‘bencana’ tersebut.

Penangkapan dan penahanan 5 tokoh PDP tersebut sangat disayangkan, karena sebelumnya sekitar bulan Juli 2000, Theys dkk, sudah diperiksa berkaitan dengan pelaksanaan Kongres Papua 2000. Pemeriksaan kala itu berlangsung lancar dan tanpa ada kesan bahwa akan ada penangkapan dan penahanan beberapa bulan setelah proses tersebut. Sikap mengejutkan ini menunjukkan bahwa Polda di bawah tekanan kepentingan tertentu.

Masa penahanan PDP, khususnya selama di Polda Papua jauh dari hal yang menyenangkan. PDP diberikan 2 kamar yang kotor, penuh dengan coretan dinding, sebagaimana kamar penjara pada umumnya. Theys, melalui kami, meminta ijin kepada pihak Polda untuk mendatangkan orang dan cat untuk ‘merenovasi’ kamar mereka. Kepada Polda Papua, kami mengatakan bahwa PDP adalah tahanan politik pertama di era reformasi, tentu ini memberikan penilaian tersendiri buat pemerintah, terlebih buat Polda Papua, yang diminta hanya ijin, soal beli cat dan tenaga akan disiapkan oleh Theys. Pihak penanggungjawab sel mulanya keberatan dengan permintaan ini, akan tetapi beberapa hari setelah itu, Kapolda mengirimkan orang berikut cat untuk membersihkan kamar tahanan PDP. Rupanya, “Kapolda malu kalau ada berita bahwa untuk membersihkan kamar tahanan saja harus menggunakan fasilitas PDP”, ’ujar seorang perwira penanggungjawab sel di Polda Papua.

Di tahanan Polda Papua, segala peraturan yang berkaitan dengan PDP, setiap harinya bisa berubah-ubah. “Ada 44 macam”, kata istri Thaha Alhamid. “Padahal kita hanya perlu 1 macam”. Jam kunjungan kadang berubah, kadang yang mengunjungi bisa masuk ke ruang kecil, serupa ruang tamu yang merupakan bagian depan dari kamar tahanan, kadang pengunjung hanya dibiarkan berkomunikasi lewat pintu berjeruji. Pernah juga para pengunjung tidak diijinkan bertemu dan diminta untuk menitipkan barang bawaan mereka, termasuk makanan di pos penjagaan depan saja.
Sering juga kami harus bersitegang dengan para penjaga yang tidak mengijinkan masuk. “Kamu yang tunggu di sini”, kata kami kepada seorang petugas sambil menunjuk pojok ruang tamu tahanan, ketika seorang penjaga kembali melarang kami untuk bertemu Theys dkk. “Kamu tahu isinya KUHAP? Bahwa PH, keluarga, petugas kesehatan dan pelayanan rohani boleh bertemu dengan tahanan?”. Kondisi ini sungguh memberikan kesan yang kurang nyaman, sebab dari perilaku yang dialami Theys dkk, di Polda, seolah-olah Theys dkk, sudah menjalani proses pemidanaan.

Saat itu bulan puasa, Thaha M. Alhamid yang beragama Islam membutuhkan keleluasaan untuk sholat, mandi, menyiapkan makan untuk sahur dan berbuka puasa dan lain-lain sehingga meminta agar pintu sel-nya tidak dikunci, karena toh mereka masih dibatasi dengan lorong dan ruang kecil serta pengamanan yang cukup ketat. Permintaan itu pun harus disampaikan berulang kali baru dipenuhi pihak Polda.

Menjelang natal, Theys menghubungi istrinya agar menyiapkan pohon natal untuk dibawa ke tahanan mereka. Seorang perwira polisi dengan kata menghibur mengatakan “jangan khawatir, bapak-bapak akan natalan dan lebaran di rumah, tidak usah sibuk untuk pohon natal”. Di waktu yang sama memang PH dan keluarga membuat surat permohonan Penangguhan Penahanan dengan alasan kemanusiaan, agar para tahanan diizinkan merayakan natal dan lebaran bersama keluarga di rumah masing-masing. Diketahui bahwa pada saat itu Polda sempat mengundang Muspida dan tokoh agama untuk membahas permohonan penangguhan penahanan tersebut dan meminta jaminan dari peserta rapat untuk mengabulkan surat permintaan keluarga dan PH. Konon kabarnya, tidak ada yang bersedia untuk menjamin. Kenyataan itu sempat membuat para tahanan menjadi sangat kecewa dengan unsur Muspida dan pimpinan agama di Papua.

Ketika natal tiba, istri pendeta Herman Awom dan anak-anaknya sempat menangis karena tidak diizinkan bertemu langsung. Pendeta Herman Awom hanya dipersilahkan untuk memimpin doa dan menikmati natal dengan dibatasi oleh pintu jeruji. Kami minta istri pendeta untuk bersabar, sambil terus bersikeras berargumentasi dengan penjaga. Kadang penjaga memang hanya melaksanakan perintah menjaga, sedangkan mereka agak kurang mengerti untuk berunding dan memahami maksud dari peraturan yang ada, sehingga kita perlu bicara dengan pimpinannya, biasanya perwira jaga. Hingga akhirnya pintu jeruji dibuka dan pertemuan bisa dilakukan di ‘ruang tamu’ tahanan.

Hal yang sama dialami oleh istri Thaha M. Alhamid ketika membawa kedua anaknya untuk sholat Ied bersama di halaman Polda. Pihak penjaga sempat tidak mengizinkan Thaha M. Alhamid untuk shalat di lapangan Polda, mereka tidak mengetahui bahwa shalat Ied harus dilakukan berjamaah. Hingga akhirnya kami berusaha menghubungi langsung Direktur Reskrim Polda Papua, dan tak lama kemudian Thaha M. Alhamid bisa bertemu dengan istri dan anaknya untuk bersama-sama mengikuti shalat Ied di lapangan Polda.

Cerita soal ‘akan pulang’ atau ditangguhkan penahanannya berlangsung setidaknya sekitar 4 kali. Hal itu berarti juga sekitar 4 kali para tokoh PDP pernah berkemas-kemas, merapikan semua barang-barang mereka, berpakaian rapi lengkap dengan dasi sejak pagi hari. Namun akhirnya menjelang siang dan sore, negosiasi yang dilakukan gagal, lantas mereka membongkar kembali barang-barang dan kembali menempati sel tahanan Polda. Hal ini menimbulkan stress dan kemarahan yang luar biasa, terutama pendeta Herman Awom yang merasa dipermainkan.

Selama PDP dalam tahanan, pihak pers tak berhenti menuliskan berita tentang mereka. Kapolda Papua sempat berang ketika melihat wajah Theys dkk, di antara jeruji pintu ruang tahanan Polda Papua terpampang di headline salah satu surat kabar nasional, belum lagi beberapa berita PDP yang terus mendunia, bahkan wawancara ekslusif salah satu radio luar bersama Theys dilakukan dari dalam tahanan Polda.

Salah satu hal menarik ketika di tahanan Polda, PDP ditahan bersama beberapa anggota Polisi, terutama yang terlibat waktu penyerangan rumah sakit tentara Marthen Indey. Masing-masing tahanan PDP seolah-olah memiliki satu teman dekat (pengawal) yang setia berbagi. Polisi yang ditahan juga merasa ‘senang’ selama Theys dkk, ditahan karena mereka bisa ikut nimbrung waktu pintu tahanan dibuka, sebab biasanya mereka dikunci terus, menerima makanan di antara jeruji besi, bahkan mendapatkan makanan yang kurang istimewa, dibanding dengan tahanan PDP.

Pada peristiwa penyerangan Polsek Abepura, tanggal 7 Desember 2000, malam itu di penjara Polda Papua sempat ramai, banyak isu berkembang, mulai dari keterlibatan PDP yang jelas-jelas sudah ditahan, hingga ada diskusi untuk meminta salah satu tokoh PDP keluar dan bicara dengan masyarakat. Nampaknya muncul ketakutan yang luar biasa dari pemerintah, khususnya pihak Polda Papua. Kendati pemerintah telah menangkap dan memenjarakan orang Papua, akan tetapi tidak mampu membendung aspirasi rakyat Papua.

Saat PDP ditahan, Otsus pun mulai ramai dibicarakan. Muncul juga isu bahwa penahanan mereka hanya sandiwara, hal ini sempat ditiupkan oleh salah satu wartawan dari obrolan-obrolan lepas. Kata yang berkembang, Theys dkk, menyetujui Otsus dan sudah menerima uang sekitar Rp. 40 M, sebagai sogokannya. Istri Thaha M. Alhamid yang juga mendengar kabar ini sangat marah. “Apakah mereka tidak tahu kesedihan dan penderitaan yang keluarga alami?”, tanyanya. Apakah hal ini ada kaitannya dengan kunjungan Barnabas Suebu dan Phil Erari ketika itu, mereka sempat bicara soal Otsus, PDP menyatakan sikap tegasnya menolak, entah siapa yang memanipulasi pertermuan itu dengan mengatakan bahwa PDP telah menerima dan menandatangani persetujuan mereka terhadap Otsus dari dalam penjara Polda Papua.

Menjelang tahun baru 2001, presiden Abdurahman Wahid mengunjungi Papua. Di dalam tahanan Polda sempat berkembang diskusi berkaitan dengan sikap Gus Dur. Diketahui, bahwa Gus Dur-lah yang telah membantu rakyat Papua, melalui PDP, sebanyak Rp. 1 M, untuk pelaksanaan Kongres Papua 2000 yang kemudian dituduh sebagai kegiatan separatis. Ada isu bahwa Gus Dur akan mengunjungi mereka, akan tetapi sebelum isu itu menguat diduga telah terjadi negosiasi terbatas, yang intinya bahwa Gus Dur akan membuat pernyataan untuk membebaskan Theys dkk, dengan 3 syarat: pertama, Theys dkk, harus tunduk dan patuh pada NKRI; Kedua, PDP menyerukan TPN/OPM untuk harus ‘turun gunung’. Dan syarat ketiga, mewakili rakyat Papua, PDP menyatakan menerima Otsus. Theys yang mengetahui hal itu mengatakan, “Saya tidak mau menghianati rakyat Papua lagi”.

Setelah masa penahanan di kepolisian berakhir, Theys dkk, akan dialihkan pada penahanan Kejaksaan Negeri. Hari itu tanggal 29 Desember 2000, rombongan Theys dkk, keluarga dan PH menyeberang dari Polda ke Kejaksaan Negeri yang letaknya berhadapan. Walaupun Theys dkk, masih dalam masa penahanan, namun mereka sedikit terhibur karena setidaknya akan ‘pindah’ penjara dan berharap ada sedikit situasi psikologis yang berubah. Akan tetapi Theys dkk, dan PH sangat marah ketika mengetahui bahwa mereka hanya mengurus administrasi saja, setelah itu tetap dititipkan pada Polda Papua. Keputusan ini sangat mungkin didasari ketakutan yang berlebihan dari pemerintah akan bahayanya proses penahanan tanpa proses ekstra pengamanan dan ‘isloasi’.

Sempat terjadi keributan, anak bungsu pendeta Herman Awom menangis di ruang Kejaksaan. Setelah tim PH bertemu dengan Kepala Kejaksaan Negeri Jayapura, maka semua administrasi diubah, Theys dkk, akhirnya dititipkan di LP Abepura. Satu babak penderitaan dari satu perjalanan penjara kecil berakhir dan memulai satu kisah baru di LP Abepura.

Bersambung . . .

Read More......

Pengantar

Pembaca Andawat yang terhormat.

10 November merupakan salah satu hari bersejarah bangsa Papua. Karena di tanggal 10 November 2001, Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay diculik dan dibunuh oleh pasukan Kopasus Tribuana yang bermarkas di Hamadi Jayapura. Peristiwa itu juga menyimpan rahasia dan keingintahuan yang mendalam karena hingga kini, Aristoteles Masoka, supir Theys tidak ditemukan keberadaannya.

Memperingati 7 tahun peristiwa kelam tersebut, Andawat akan menampilkan “Serial Theys dan PDP: Mengadili Demokrasi Damai Rakyat Papua”. Judul ini dikutip dari naskah Pembelaan Theys dkk, pada persidangan mereka di Pengadilan Negeri Jayapura, pada 14 Mei 2001 – 4 Maret 2002.
Tulisan ini berisi rekaman peristiwa yang pernah kami saksikan dan ikuti dalam perjalanan sejarah PDP, mulai dari penangkapan, penahanan, persidangan, penculikan dan pembunuhan Theys, hingga akhir persidangan PDP pada tanggal 4 Maret 2002 di Jayapura. Sudah tentu peristiwa tersebut tak semuanya dapat kami rekam dengan baik karena banyak sekali peristiwa yang terjadi saat itu.

Sosok Theys sendiri mempunyai cacatan sejarah yang sangat panjang dalam ‘pengabdiannya’ pada negara Merah Putih. Beberapa kritikan pedas dan protes terhadap sikapnya deras mengalir ketika pilihannya bergabung pada perjuangan kemerdekaan rakyat Papua, menjadi Ketua PDP bahkan hingga hari ini perdebatan tentang sosoknya tak pernah sepi.
Informasi mengenai Theys dan PDP juga sudah sering disampaikan oleh banyak teman dalam berbagai tulisan. Semoga tulisan ini dapat berbagi cerita tentang “The Other Side of Theys and PDP”.

Read More......
hardin-andawat.papua