Kamis, 13 November 2008

Hari-hari Menjelang Theys Diculik (Bagian 3 - Habis)

Pengkondisian dan Kesaksian
Penculikan dan pembunuhan ini sendiri bagian dari upaya sistematis dan sudah direncanakan jauh hari oleh tim Kopasus sehingga tidak bisa dipungkiri merupakan bagian dari kejahatan institusi, bukan perorangan. Selain dengan cara-cara yang dilakukan anggota Kopasus seperti mendatangi rumah Theys dan anggota PDP lainnya, di Jayapura juga dilanda isu mengenai keberadaan drakula.

Sekitar tiga hari berturut-turut sebelum kejadian penculikan, harian lokal, Cenderwasih Pos, memuat berita mengenai adanya drakula di sekitar jalan baru pasar Youtefa – sekarang kami lebih gampang menyebutnya sebagai ‘jalan drakula’ – persis di jalan yang kemudian digunakan untuk lintasan penculikan. Kenapa isu itu sengaja dilontarkan?

Sebab saat itu pasar Youtefa sementara dibangun, dan untuk mengejar target penyelesaian, maka orang dipaksa bekerja hingga malam hari. Sedangkan isu drakula ditiupkan agar orang tidak lagi bekerja pada malam hari karena takut, dan memang akhirnya tidak ada yang mau bekerja pada malam hari. Tujuan dari penculik adalah jelas, dengan tidak adanya aktifitas di sekitar jalan tersebut pada malam hari, maka akan meminimalkan saksi yang akan melihat adanya mobilisasi kendaraan yang tidak wajar pada malam saat eksekusi Theys dilakukan.

Sayangnya, karena waktu itu adalah malam Minggu, maka jalan masih ramai. Sehingga banyak sekali orang yang tetap melihat kejadian tersebut. Seperti saksi yang membawa mobil tanki dan berselisih di daerah Koya dengan mobil Theys bernomor polisi DS B 8997 TO. Saksi yang melihat seorang pria menunggu mobil pick up di jalan menuju vihara. Saksi yang melihat ada orang sibuk mengawasi jalan dan memungut sepatu dan handphone di sekitar TKP.

Juga saksi yang mobilnya ditumpangi Aristoteles Masoka ketika minta diantarkan kembali ke markas Kopasus. Termasuk juga saksi yang waktu itu sedang mencuci piring di dapur markas Kopasus setelah pesta. Saksi itu melihat ada seorang yang masuk sambil mengusap-usap wajahnya dan dengan nada pasti melaporkan kejadian penculikan tersebut. Saksi sempat melihat seseorang merampas handphone dari tangan Aris Masoka lantas dia ditarik ke ruang yang lebih khusus. Inilah kali terakhir Aris Masoka dilihat oleh orang lain, selain anggota Kopasus tentunya.

Dalam teori investigasi, yang harus diminta pertanggungjawaban mengenai keberadaan seseorang adalah orang yang terakhir terlihat bersamanya. Informasi ini jelas bisa didapat dari keterangan saksi-saksi yang ada. Dari orang itulah, keberadaan seseorang ditelusuri, terlepas apakah orang tersebut melakukan kejahatan atau tidak. Namun anehnya, isu keberadaan Aris Masoka malah ditiupkan menjauh dari markas Kopasus Tribuana di Hamadi. Ada yang mengatakan Aris Masoka sudah kembali ke rumahnya di kampung Harapan di Sentani. Tak kurang saat itu, satu regu polisi langsung bersama Kapolda sempat menuju rumah Aristoteles untuk mengetahui keberadaan informasi ini. Ada juga yang mengatakan Aristoteles ke PNG, bahkan ada yang bilang Aristoteles sudah di Israel. Ada beberapa saksi yang kemudian diintimidasi, seperti ketika dilakukan pemeriksaan di Polresta Jayapura. Mereka dibuntuti juga pada saat rekonstruksi di Entrop, tempat penculikan terjadi.

Kembali ke soal penculikan Theys. Setelah menerima telepon yang terburu-buru dari Aris Masoka, istri Theys kemudian menelephon beberapa anggota Kopasus yang biasa datang berkunjung ke rumah mereka di Sentani. “Mereka biasa masuk langsung pergi cari makan di dapur, ada juga yang paling suka daging babi. Jadi saya telepon dia”, kata istri Theys. Salah seorang anggota Kopasus yang dihubunginya berjanji akan melaporkan hal itu ke komandan mereka, Letkol Inf. Hartomo.

Tak lama kemudian istri Theys menelephonnya kembali, tapi jawabnya ketika itu adalah, “HP komandan mati”. Padahal dari pemeriksaan pihak Polisi dan POMDAM (Polisi Militer Kodam), terlihat data komunikasi telepon dari beberapa orang seputar kejadian tersebut, termasuk pembicaraan yang berulang kali antara anggota Kopasus yang dihubungi istri Theys tersebut dengan Hartomo. Lebih aneh lagi ketika diperiksa oleh pihak POMDAM, Hartomo masih mengelak dan mengatakan tidak memiliki handphone. saat itu juga istri Theys menunjukkan nomor telephonnya.

Istri Theys diperiksa dan diambil keterangannya di POMDAM Jayapura. Pada hari persidangan, Istri Theys diminta untuk hadir sebagai saksi pada persidangan di Pengadilan Militer Surabaya. Namun karena masih trauma dan demi pertimbangan keamanan, beliau tidak bersedia memberikan kesaksiannya di Surabaya, kesaksiannya hanya dibacakan pada persidangan tersebut.

Penyidikan dan Persidangan
Memang pengungkapan penculikan dan pembunuhan Theys Eluay bukanlah hal yang mudah, karena melibatkan institusi elit di negeri ini. Langkah berani dan luar biasa telah dilakukan oleh Kapolda Papua, saat itu Irjen Pol. I Made Mangku Pastika. Beliau tidak henti melakukan koordinasi dan saling bertukar informasi. Pada satu kesempatan, beliau mengundang beberapa Penasehat Hukum berkunjung ke ruang kerja beliau. Pada saat itu, beliau mengatakan bahwa pengungkapan kejadian penculikan dan pembunuhan Theys seperti menyusun sebuah puzzle, “kita hampir menyelesaikan tahap yang paling sulit”, ujarnya.

kepada pers, Mangku Pastika mengatakan bahwa ibarat menggambar seekor anjing, “sudah kelihatan moncongnya”, katanya. Kala itu, Polda Papua berada dalam situasi yang sangat sulit, pasukan juga disiapkan berjaga-jaga di Mapolda. Keberanian beliau untuk menurunkan tim penyidik ke markas Kopasus, mengambil gambar semua anggota Kopasus, bahkan sempat melakukan pemeriksaan di bangunan luar dan dalam, adalah keberanian yang sulit untuk dilakukan oleh seorang petinggi Polisi. Saat melakukan itu, tim Polda turun dengan di-back up oleh pasukan yang bersiaga penuh di sekitar jalan.

Walaupun sudah begitu banyak bukti, nampaknya Kopasus tetap tidak mau institusinya terlibat. Misalnya yang nampak pada perdebatan antara PH Theys dan PH Hartomo menjelang persidangan para anggota Kopasus Tribuana. Para Terdakwa mengatakan, bahwa saat itu mereka hanya menanyakan apakah Theys masih mendukung Papua Merdeka? Menurut mereka, dengan pertanyaan itu telah membuat Theys menjadi terkejut dan gugup sehingga menyebabkan serangan jantung yang kemudian mengakibatkan kematiannya. Padahal kenyataannya, Theys biasa mendengarkan pertanyaan serupa. Dalam sehari saja, bisa lebih dari 3 kali pertanyaan itu diajukan kepadanya, dan selalu dijawab dengan nada yang tegas dan ringan sambil tertawa.

Persidangan terhadap Hartomo dkk, telah berakhir. Upaya untuk mengungkapkan pelaku penculikan dan pembunuhan Theys Eluay adalah suatu hasil yang agak berbeda dari pembunuhan yang dialami oleh para tokoh politik lainnya. Akan tetapi terungkapnya peristiwa dan penculikan tersebut karena yang terbunuh adalah seorang pemimpin Papua yang mendapat sorotan dari segenap penjuru dunia dan penyidikannya dimotori oleh seorang perwira tinggi pemberani yang tidak lahir setiap tahun. Bisakah peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap rakyat Papua lainnya terungkap?

Hartomo dkk, telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah. Tetapi di mata para jenderal, mereka malah dianggap ‘pahlawan’. Lebih dari itu, siapa yang tahu bahwa para Terdakwa benar-benar menjalani hukuman? Lebih menyedihkan lagi karena peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap Theys Eluay dianggap sebagai kriminal biasa. Mungkinkah terjadi perkara kriminal biasa bila melibatkan institusi elit keamanan, dilakukan secara beregu dan memiliki rantai komando yang jelas?

Read More......

Rabu, 12 November 2008

Hari-hari Menjelang Theys Diculik (Bagian 2)

Tiba-tiba perut terasa lapar sekali. Kami baru sadar, rupanya sejak pagi hari tadi belum makan. Sementara di luar sana tidak ada satu pun toko yang buka sejak pagi. Jadi kami tak akan mendapatkan orang yang menjual makanan hari itu. Syukurlah, teman kami, seorang suster berbaik hati untuk merebus mie instan dan telur, dan kami pergi makan ke tempatnya yang kebetulan hanya berseberangan jalan dengan kamar jenazah.

Menjelang pagi baru terasa ngantuk, kami bergantian tidur dalam mobil, sebagian yang lain di teras kamar jenazah. Pagi sekitar pukul 05.00 WIB lebih, Thaha Alhamid, Pendeta Herman Awom dan Leo Imbiri yang sejak awal bersama-sama dengan kami langsung balik ke rumah, untuk bersiap-siap menghadiri pertemuan dengan pihak Polda Papua. Saat itu orang-orang mulai berdatangan lagi, mereka mengisi lagu-lagu rohani di hadapan jenazah. Sementara helikopter terus berputar-putar dengan suaranya yang sangat ribut di atas kepala. Mendengar paduan suara tersebut, seorang wartawan yang menelephon mengatakan, “saya dapat merasakan kesedihan dan situasi yang mencekam di Papua”.

Situasi memang sangat tegang, apalagi ketika massa Papua semakin banyak berdatangan, jumlahnya kini diperkirakan mencapai ribuan orang, sedangkan anggota PDP ketika itu masih mengadakan pertemuan di Polda. Pagi itu istri Theys datang bersama anak-anaknya, suasana haru sangat terasa di dalam kamar jenazah.

Menjelang tengah hari, jenazah hendak dibawa ke DPRP (ketika itu DPRD Irian Jaya) untuk disemayamkan (Theys adalah mantan anggota DPRD Provinsi Irian Jaya, 2 periode). Pada saat itu terjadi perdebatan. Rakyat yang hadir memaksa agar jenazah digotong beramai-ramai berjalan kaki, tidak menggunakan mobil ambulance. Setelah pihak PDP berkonsultasi dengan petugas RS, akhirnya Pendeta Herman Awom menjelaskan bahwa dengan pertimbangan medis, nampaknya agak riskan jika menggotong jenazah yang sudah diotopsi sebelumnya. “Sebaiknya jenazah tetap dibawa dengan ambulance, dan kita semuanya jalan kaki”, demikian salah satu ‘orasi’ Pendeta Herman Awom. Akhirnya massa setuju.

Suasana hari itu sudah lebih terkendali, namun semua aktivitas sekolahan, perkantoran lebih memilih libur. Jalan menuju ke gedung DPRP tidak begitu lama. Sesampai di gedung rakyat tersebut, terjadi keributan yang luar biasa. Massa memenuhi halaman, di dalam gedung massa lebih membludak lagi. Sebagai tokoh Papua, Theys bukan saja milik orang Sentani, tetapi seluruh rakyat Papua. Karenanya, ada massa yang menghendaki Theys dimakamkan di halaman DPRP.

Sementara pihak keluarga dan beberapa orang lainnya berpandangan dan meminta agar sebaiknya dimakamkan di Sentani supaya dekat dengan keluarga dan menghindari hal-hal lain yang mungkin saja terjadi di waktu yang akan datang. Masing-masing kelompok bersikeras, dan suasana di DPRP menjadi semakin tegang. Sore hari baru dicapai kesepakatan: jenazah tidak dimakamkan di DPRP, tetapi akan disemayamkan selama satu malam. Pada saat yang bersamaan, ribuan massa dari Sentani datang dengan menggunakan mobil, motor dan jalan kaki, halaman DPRP penuh sesak.

Salah seorang keponakan Theys menunjukkan tas ransel yang dibawanya. “Saya simpan barang-barang bapak di dalam sini”, katanya. Ternyata semua pakaian dan benda-beda yang dikenakan Theys yang seharusnya menjadi Barang Bukti (BB) tergeletak begitu saja di ruang otopsi. Semua seakan lupa dengan barang-barang ‘berharga’ tersebut. Dialah yang berinisitaif untuk menyimpannya. “Tidak ada polisi yang ambil, mereka semua langsung pergi’, tambahnya. Kami sepakat untuk mengamankan BB hingga bertemu dengan penyidik dan memberikanya kepada penyidik. Hingga malam tiba, sebagian dari kami balik ke rumah, sementara yang lainnya ikut menginap di DPRP.

Pagi hari, 13 November 2001. Persiapan pemberangkatan jenazah dari DPRP ke Sentani mulai dilakukan. Hari itu udara mendung, tidak ada cahaya matahari yang menyengat. Ambulance dengan jenazah di dalamnya mulai keluar dari gedung DPRP pukul 09.30 WIB, dan tiba di Sentani pukul 17.00 WIB. Sementara ‘ujung’ rombongan pengantar yang terakhir masuk di pendopo sekitar pukul 23.00 WIB. Dapat dibayangkan betapa banyak yang mengiringi jenazah ketika itu. Dari waktu tempuh yang sangat lama dan panjang rombongan mencapai 10 km, diperkirakan ada sekitar 30 ribu massa ketika itu.

Wujud simpati dari berbagai pihak sangat terasa. Sepanjang jalan dari DPRP di Jayapura, sampai di pendopo di Sentani, terlihat begitu banyak yang menyediakan minuman untuk pengantar, memasang bunga di halaman pagar, lambaian bunga dari orang yang berbaris di pinggir jalan, hingga tulisan simpati yang terbuat dari tripleks atau kertas manila, seperti yang dilakukan oleh pemilik bengkel di sekitar Abepura dan anak-anak pengajian di masjid Sentani. Ada bunga di mana-mana, semua kendaraan menyelipkan bunga pada kaca mobil ataupun stang motor mereka. Di jalanan bunga-bunga bertebaran, atap mobil jenazah penuh dengan timbunan bunga.

Supir mobil ambulance nyaris tak menghidupkan mesin mobilnya, mobil bergerak karena didorong oleh puluhan massa yang bergerak perlahan. Penuh duka, tertunduk dan sambil terus menangis. Di beberapa ruas jalan tertentu, masyarakat Sentani sempat membuat upacara singkat, ada tarian atau sekedar menaburkan bunga ke mobil jenazah, maupun kepada istri Theys.

Sesampai di pendopo massa pun sudah sangat padat dan sesak. Diputuskan bahwa waktu pemakaman akan dilakukan satu minggu kemudian, tepatnya tanggal 17 November 2001. Ini dilakukan untuk menunggu para Panel dari Dewan Papua untuk berkumpul di Jayapura. Selama jenazah Theys di Sentani, kunjungan dari berbagai pihak terus berdatangan, hampir semua paguyuban dari berbagai suku non-Papua datang mengunjungi, memberikan bantuan, menyumbangkan tari-tarian. Tepatnya, semua orang, lintas agama, lintas suku, ikut memberikan dukungan moril, materil dan simpatinya terhadap keluarga Theys dan kepada rakyat Papua pada umumnya.

Hari-hari menjelang pemakaman, juga setelah pemakaman, selalu saja diwarnai dengan berbagai masalah pelik yang muncul. Saking banyaknya masalah dan datang pada waktu yang bersamaan, hingga terkadang kami tidak sadar bahwa itu ‘soal’ dan sangat beresiko besar. Kendati begitu, kami menjalani dengan sangat hati-hati dan terus saling berkomunikasi. Saat itu perhatian seluruh dunia ditujukan ke Papua, mereka ingin tahu apa yang akan terjadi setelah itu. ‘Pembalasan’ seperti apa yang akan dilakukan oleh rakyat Papua.

Konon ketika itu, I Made Mangku Pastika, Kepala Polda Papua pun hampir tak bisa duduk tenang di kantornya. Beliau terus was-was menjaga dan mengamati setiap informasi dan perkembangan yang terjadi. Semua tahu bahwa saat itu bukanlah waktu yang mudah untuk mengatasi rasa amarah dan kekecewaan, namun sulit dibayangkan bahwa pada saat itu rakyat Papua masih tetap menggunakan akal sehat dalam menghadapi situasi yang sulit, di saat pemimpinnya dibunuh.

Hari kedua setelah jenazah disemayamkan di pendopo, seorang anggota polisi menanyakan barang bukti, berupa pakaian dan beberapa lainnya yang dikenakan Theys saat ditemukan. Tapi sebelum memberikannya, kami sempat marah, karena pekerjaan polisi yang tidak professional ini.

Soal jantung Theys sendiri, sempat ramai juga diperdebatkan dan beritanya begitu simpang siur. Waktu itu, setelah otopsi, rencananya jantung Theys akan dikirim ke Labforensik Polri untuk diperiksa. Walaupun sudah ramai dibicarakan, namun tindakan yang diambil oleh pihak kepolisian bersama pihak rumah sakit terkesan lamban dan secara khusus tidak serius memperhatikan dan menjaga keberadaan jantung tersebut.

Banyak orang memberikan tanggapan tentangnya, bahkan seorang pimpinan LSM di Jayapura membuat berita, bahwa jantung Theys sudah dibawa ke Jakarta. Anehnya, berita tersebut dikutip oleh Kepala Polda Papua saat ditanya soal keberadaan jantung Theys. Padahal sempat terjadi kebingungan di antara pihak kepolisian dan juga pihak rumah sakit mengenai keberadaan organ tubuh Ondofolo Sentani itu.

Yang terjadi sebenarnya adalah begini. Setelah diotopsi, jantung disimpan dalam toples dan dilapisi kertas timah. Entah kenapa, toples tersebut tergeletak begitu saja tanpa ada yang menghiraukan. Untung saja seorang perawat mengamankan dan menyerahkannya kepada Sekjen PDP, Thaha Alhamid. Pihak rumah sakit sempat ketakutan ketika mengetahui bahwa mereka lalai menyimpannya. Bahkan kami sempat dihubungi Direktur Rumah Sakit dengan nada panik.

Senyatanya, jantung Theys tidak pernah dibawa kemana-mana, seperti banyak berita yang beredar. 2 hari kemudian, istri Theys menyatakan bahwa ada ‘pesan’ dari Theys yang datang dalam tidurnya dan mengharapkan agar jantungnya dikubur bersama dirinya. Toh, tanpa pemeriksaan jantung pun, sudah diketahui bahwa kematiannya tidak wajar.

Hari ketiga, saat mengunjungi rumah duka, kami mendapat bisikan dari seorang teman, bahwa salah seorang pembunuhnya adalah ‘orang batak’, berinisial DH (Dony Hutabarat). Dengan nama ini, saya punya pengalaman tersendiri. Delapan bulan sebelum peristiwa penculikan yang menghebohkan ini, seorang teman di masa SD dulu, yang kemudian masuk AKABRI, datang mengunjungi rumah saya. Waktu itu, saya sempat kaget, karena walau rumah kami saling berdekatan di asrama tentara, Bucend II Entrop, namun kami tidak akrab.

Teman itu datang memperkenalkan seorang temannya, anggota Kopasus Tribuana yang baru ditempatkan di Jayapura, namanya Dony Hutarabat. Kunjungan itu terasa aneh, karena kemudian Dony Hutabarat meminta nomor handphone dan beberapa kali mencoba menelephon dan menanyakan perkembangan PDP. Sebagai PH, kami menyatakan bahwa semua yang berkaitan dengan proses hukum PDP bukanlah hal yang tertutup, semua orang mengetahui dari media massa, sedangkan yang berkaitan dengan politik, tentulah bukan kewenangan dari pihak PH.

Kebiasaannya yang terus menerus menanyakan soal PDP membuat saya marah. Dony juga memberanikan diri datang ke rumah Sekjen PDP. Nampaknya dia ingin sekali bertemu langsung, tetapi kemudian ditolak oleh istri Sekjen PDP. Kami menduga dia mencoba ‘mendekati’ Sekjen PDP dengan pendekatan kultur. Untuk diketahui, istri Thaha Alhamid adalah perempuan asal Tapanuli Selatan bermarga Siregar.

Pertemuan dengan Dony Hutabarat pernah juga terjadi saat kami melihat korban yang meninggal, di kamar jenazah RS Jayapura setelah demo penolakan RUU Otsus di Gedung Olah Raga, Cenderwasih, Jayapura. Ketika itu Dony berdiri agak jauh, dekat pohon cemara. Dia sering menggunakan rompi warna krem. Rompi itu juga yang membuat kami dengan cepat dapat mengidentifikasi gambar dirinya di POMDAM pada saat dilakukan pemeriksaan oleh pihak POMDAM. Kala itu pihak POMDAM menunjukkan puluhan foto anggota Kapasus Tribuana, dan Doni terlihat jelas di dalam foto tersebut, juga dengan rompi kebanggaannya itu.


Peristiwa Penculikan
Diduga kuat, bahwa pada waktu Theys berpamitan untuk pulang setelah mengikut acara Hari Pahlawan. Ketika itu ada 2 orang yang juga ikut menumpang di mobilnya. Dan kemudian diketahui, bahwa kedua orang tersebut adalah anggota Kopasus, bagian dari Tim Penculikan. Selain itu, ada mobil dan juga setidaknya 4 buah motor yang merupakan rombongan penculik, mengiringi mobil Theys ketika itu. Mobil Theys dipaksa berhenti setelah melewati tingkungan dekat perumahan Pemda Entrop, tepatnya di lokasi yang terdapat bak sampah.

Seketika terjadi perebutan kemudi di mobil Theys. Aristoteles, supir Theys, dipaksa turun oleh salah seorang penculik yang berhasil menguasai setir mobil, sedangkan para penculik lainnya langsung melakukan aksi membungkam Theys dengan cara mencekik. Aris sempat bergantungan di pintu mobil sambil tetap memegang setir, sebagian kakinya bergantungan di bagian bawah pintu, sementara mobil terus melaju. Posisi demikian sempat berlangsung sekitar 30 meter, melewati 2 tikungan kecil setelahnya, baru kemudian Aristoteles terpelanting jatuh.

Aris kemudian terlihat memberhentikan mobil Suzuki Carry yang akan menuju Jayapura. Aris naik tanpa sepatu, “tolong antar saya ke Hamadi, mereka menculik bapak Theys’, pintanya kepada pemilik mobil itu. Penumpang dalam mobil belum menyadari apa yang terjadi meski mereka sempat bingung dengan penampilan Ari yang minta diturunkan di markas Kopasus Tribuana di Hamadi, dan mobil Carry melanjutkan perjalanan ke arah Jayapura. Keberanian Ari untuk kembali ke markas kopasus bukan tanpa alasan, sebab Ari melihat dan mengenali wajah penculik sebelumnya.

Tim Penculik tentulah sudah diatur dengan rapi. Selain ada yang melakukan eksekusi, ada pula yang bertugas mengamankan barang bukti, membersihkan TKP setelah kejadian seperti menyuruh mobil jalan terus pada saat beberapa mobil berusaha berhenti untuk mencari tahu peristiwa malam itu. Ada juga orang yang terlihat berjaga menunggu mobil yang melewati tikungan di jalan ke arah pasar Yotefa. Orang tersebut akhirnya menumpang mobil jenis pick up. Diperkirakan, seketika setelah mereka menguasai mobil Theys, saat itu juga dilakukan pembunuhan, sambil mobil masih dalam keadaan jalan. Di dashboard mobil, nampak bekas sepatu, mungkin milik salah seorang pembunuh yang mencoba untuk mencekik Theys.


bersambung . . .

Read More......

Senin, 10 November 2008

Hari-hari Menjelang Theys Diculik (Bagian 1)

Pembaca Setia Andawat . . .

Pada sesi ini, tulisan mengenai Theys cs, seharusnya bercerita tentang peristiwa dan pengalaman mereka selama dalam masa tahanan di LP Abepura, akan tetapi karena saat ini menjelang tanggal 10 November, di mana 7 tahun silam, Theys diculik dan dibunuh, maka kami mencoba melewati dulu satu tahapan tersebut, dan mencoba menuturkan kisah penculikan dan pembunuhan Theys Eluay yang sempat kami rekam.

Malam itu, tanggal 10 November 2001, sekitar pukul 22.35 WIB, ketika kami dihubungi oleh istri dari Thaha Alhamid, beliau menuturkan bahwa istri Theys baru saja menelephon dan mengatakan jika Aristoteles Masoka, supir Theys, baru saja menelephon dirinya dengan gugup dan tergesa-gesa: “mama, bapak diculik, saya akan pergi cek, karena ‘mereka’ yang culik…”.

Hari itu, Theys keluar dari rumah agak siang dan seperti biasa, pada malam hari baru balik lagi ke rumahnya di Sentani. Tujuannya untuk mengikuti rapat PDP dan urusan lainnya. Menjelang malam, Theys mengikuti acara peringatan Hari Pahlawan di markas Kopasus Tribuana di Hamadi, Jayapura.

Berita itu mengubah segalanya, rasanya sulit dipercaya, tetapi segalanya sudah terjadi. Kemudian terjadi komunikasi yang sangat intensif di antara orang-orang PDP, pengacara dan juga masyarakat lainnya yang berusaha mencari informasi yang jelas.

Setelah pertemuan PDP pada siang harinya, Thaha Alhamid dan Pendeta Herman Awom ketika itu langsung menuju kea rah Abepura, sedangkan Theys diperkirakan kembali ke hotel Matoa sebelum ke markas Kopasus di Hamadi.

Undangan untuk Theys mengikuti Perayaan Hari Pahlawan, 10 November, disampaikan secara lisan oleh Komandan Tribuana, Letkol. Hartomo. Pagi hari sebelumnya, Hartomo memang bertandang ke rumah Thyes. Hartomo saat itu membawa bingkisan berupa baju kemeja lengan panjang berwarna putih. Sebenarnya beberapa hari sebelumnya, anggota PDP yang lain juga mendapatkan undangan yang sama, namun mereka mengurungkan niat untuk hadir, bahkan mempertanyakan kedatangan anggota Kopasus yang membawa undangan tersebut. Rumah Thaha Alhamid sempat juga dikunjungi oleh salah seorang anggota Kopasus Tribuana, Dony Hutabarat, yang kemudian diketahui merupakan dua pimpinan eksekutor penculikan dan pembunuhan bersama dengan kapten Reynaldi.

Menjelang pukul 23.00 WIB, kami sudah mendapatkan konfirmasi yang pasti, bahwa Theys diculik. Malam itu, berita nasional sebuah stasiun televisi nasional langsung memberitakan penculikan tersebut. Komunikasi terus dilakukan hingga pagi hari saat matahari sudah muncul dan ‘membakar’ semua lapisan langit, “… sepertinya ini pertanda buruk...”, kata istri Thaha Alhamid kepada saya di ujung telepon ketika itu.

Hari-hari terakhir bertemu Theys seperti berjalan sangat cepat dan biasa saja. Tanggal 2 November 2001, bersama Muridan, seorang peneliti senior di LIPI yang diminta untuk menjadi saksi ahli pada persidangan PDP, dan beberapa pengacara lain, kami mendiskusikan beberapa hal menyangkut agenda persidangan PDP sebelum persidangan pada 4 November 2001.

Saat itu, Theys banyak menerangkan sejarah foto-foto yang memenuhi ruang tamunya. Keesokan harinya, rumah Theys lebih ramai karena hari itu tanggal 3 November adalah hari ulang tahun beliau. Beberapa wartawan yang hadir sempat menanyakan soal persidangan besoknya. Semua orang ramai menikmati makanan yang disediakan istri Theys, “… kalau tidak mau makan, kamu bayar, karena istri saya sudah masak untuk kalian...”, selalu seperti itu kalimat yang disampaikan Theys bila melihat tamunya enggan mencicipi makanan yang telah disediakannya.

Tanggal 4 November 2001, sebelum memulai persidangan, Theys bersikap agak ‘aneh’, karena beliau membawa kamera dan memotret beberapa orang, seperti polisi yang menjaga jalannya persidangan, para Pengacara, termasuk meminta kesediaan kesediaan rekan-rekan PDP, sesama terdakwa: Thaha Alhamid, Don Flassy dan Pendeta Herman Awom serta Jhon Mambor untuk dipotret bersama istrinya masing-masing.

Kesesokan harinya, 5 November 2001, pertemuan terakhir terjadi di bandar udara Sentani, pada saat mengantar Muridan balik ke Jakarta. Theys yang akan ke Timika waktu itu terlihat berbicara dengan beberapa orang yang berpostur tegap laiknya potongan tubuh militer. Setelah itu Theys kemudian menuju ke tempat kami duduk dan diskusi soal SPP (Solidaritas Perempuan Papua) yang baru terbentuk. Beliau ingin bertatap muka langsung dengan SPP setelah balik dari Timika. “Kasih tahu ibu Koibur…”, katanya. Kemudian Theys menunjukkan cincinnya, dan mengatakan “ini baru, bagus kah..?”. Tidak lama kemudian, pesawat telah membawa Theys ke Timika.

Kembali ke soal penculikan tadi. Pagi hari, 11 November 2001, setelah mendengar peristiwa penculikan Theys, para pengacara kumpul di rumah Thaha Alhamid untuk membahas langkah yang harus ditempuh. Istri Theys juga kami minta untuk hadir. Di sela-sela diskusi, informasi mengenai jenazah Theys mulai banyak diberitakan. Setelah membuat kronologis singkat, rombongan pengacara menuju Kepolisian Daerah (Polda) Papua, tujuannya mengantarkan istri Theys untuk membuat laporan polisi.

Pada hari yang sama, komandan Kopasus di markasnya di Hamadi, mengadakan konferensi pers yang intinya menyatakan bahwa mereka tidak tahu menahu dan tidak terlibat dalam peristiwa penculikan dan pembunuhan Theys. Konferensi pers langsung dipimpin oleh Letkol. Hartomo, komandan Kopasus Tribuana, yang pada persidangan Theys di Surabaya mengakui dan terbukti secara sah dan menyakinkan telah membunuh Theys. Kita bisa bayangkan betapa kebohongan publik bisa dengan gampang dilakukan tanpa merasa bersalah sedikit pun oleh sebuah satuan elit militer di negara ini.

Sampai di Polda Papua, semua seperti sudah mengetahui peristiwa tersebut. Diketahui juga, bahwa tim dari Polda Papua dan Kepolisian Resort (Polres) Kota Jayapura sedang melakukan pencarian. Saat mendampingi istri Theys, kami mendapatkan informasi bahwa mobil dan jenazah Theys sudah ditemukan di sekitar perbatasan antara Indonesia dan PNG. Beberapa orang pengacara masih mendampingi istri Theys di Polda, sedangkan sebagian lainnya mengikuti rombongan PDP menuju tempat ditemukannya mobil dan jenazah.

Di dalam mobil menuju Koya, tempat ditemukannya mobil dan jenazah, komunikasi terus dilakukan dan masih terdapat simpang siur berita mengenai posisi mobil dan jenazah Theys. Di Koya Koso, mobil rombongan sempat berhenti ketika bertemu dengan mobil lain yang juga sedang melakukan pencarian. Kemudian perjalanan dilanjutkan. Ketika memasuki Koya Timur, kami bertemu dengan ajudan Theys, Nelson Sorontouw. “Mereka sudah temukan mobil dan bapak Theys”, katanya terbata-bata. Kami semua terdiam. Thaha Alhamid sempat berbicara sebentar dengan dia, lantas mobil kami melaju lagi sambil mengikuti sepeda motor yang dikendarai Nelson Sorontouw.

Di lokasi di mana mobil dan jenazah Theys ditemukan, sudah banyak polisi. Kami sempat bertanya kepada salah seorang anggota intel dari kepolisian, “benar itu jenazah bapak Theys? Bapak sudah lihat?”, tanya kami seolah tidak percaya. “Iya, tentu, siapa yang tidak tahu bapak Theys? Itu benar dia yang ada di dalam mobil”, kata anggota intel tersebut menegaskan. Kami juga melihat Kepala Polres Kota Jayapura, Daud Sihombing, sedang sibuk mengatur pasukan, dan kami dilarang mendekat. Seorang Pengacara, Iwan Niode, SH, tidak sabar, lantas berpura-pura menghidupkan handycam dan berjalan melewati police line. Kami juga ikut mendekat. Terlihat mobil yang tertahan di bibir jurang, dan ada Theys di dalamnya!!

Waktu terasa begitu lama, sementara polisi masih sibuk mengatur rencana evakuasi mobil dari jurang sambil menunggu mobil ambulance datang. Kami menunggu hampir 2 jam, baru kemudian proses evakuasi dilakukan. Mobil Theys ditarik oleh sebuah truk polisi. Jika tidak tersangkut di pepohonan, mobil itu pasti sudah sampai di dasar jurang. Setelah mobil berhasil diangkat, kami mulai mendekat, mengintip lewat kaca jendela mobil yang anehnya tidak pecah. Ketika itu jenazah Theys belum dikeluarkan dari dalam mobil.

Masih dapat diingat dengan jelas posisi Theys saat itu. Theys tetap berada di kursi depan di samping supir. Tapi tubuhnya, dari pinggang hingga ke atas, berbalik menuju kursi tengah. Terlihat ada memar di sekitar pinggang kiri dan kanan seperti bekas paksaan menghimpitkan tubuhnya di antara celah kursi.

Theys mengenakan celana jeans dan kemeja bercorak bunga cerah, jam tangan dan cincinnya masih utuh. Kami mengamati seluruh isi mobil, saat menunduk melihat benda-benda yang ada di bawah kursi. Terlihat ada gantungan baju dan serpihan kaca. Boy Eluay, anak tertua Theys, mendekat ke jendela kursi tengah, dia sempat mengusap bagian belakang kepala ayahnya. Tak lama kemudian jenazah dikeluarkan dan dibawa ke dalam mobil ambulance. Kali ini semuanya bergerak sangat cepat mendekat. Lantas semua rombongan mulai bergerak, beriringan menuju Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jayapura di DOK II.

Siang menjelang sore pada hari itu, situasi kota Jayapura sangat sepi dan mencekam. Kami sempat menghubungi beberapa orang teman untuk bergabung, namun ada yang enggan untuk ke luar rumah. Sementara itu telepon genggam kami tidak berhenti berdering saat ada signal, kemudian putus lagi, lantas ada lagi. Yorris Raweyai, seorang anggota DPR RI, juga menelephon menanyakan perkembangan terakhir, ketika kami keluar dari Koya Timur.

Sesampai di RSUD Jayapura, masyarakat Papua sudah ramai berkerumun, semuanya lebih banyak diam, tapi kemarahan dan juga kesedihan yang mendalam tergambar jelas di raut wajah mereka. Ada juga yang dengan lantang menyalahkan Kopasus. Polisi sempat berdiskusi dengan pihak PDP soal otopsi. Kami coba menghubungi Boy Eluay dan istri Theys untuk menanyakan pendapat dan kesediaan mereka soal otoposi jenazah. Istri Theys setuju, tetapi menyarankan kami untuk meminta persetujuan dari Boy Eluay. “Itu harus dilakukan supaya semua tahu penyebab kematian beliau”, jawab Boy Eluay ketika itu.

Ketika diminta tanda tangan sebagai persetujuan untuk dilakukannya otopsi, kami sempat bingung, karena baik Boy Eluay maupun istri Theys masih berada di Sentani, sedang menenangkan massa yang marah. “Kami tidak bisa ke situ (RSUD), karena di Sentani sedang kacau, toko-toko dibakar dan kami harus tenangkan masyarakat, kalian saja yang tanda tangan”, jawab istri Theys dan Boy Eluay. Kami lantas mewakili keluarga untuk menandatangani surat persetujuan otopsi.
Ini kali pertama saya menyaksikan orang diotopsi, dan orang itu adalah pemimpin Papua. Melihat cara kematiannya saja, saat jenazah masih di dalam mobil, adalah sesuatu yang sangat memilukan, apalagi harus menyaksikannya saat diotopsi.

Otopsi dilakukan di salah satu ruangan di kamar jenazah. Ruangan otopsi dipenuhi dengan anggota polisi dan mungkin juga tentara, sebagian besar sibuk mengambil gambar. Kami sempat beberapa kali keluar ruangan karena terasa agak mual. Ada seorang teman aktifis LSM yang meminta kami memotret untuknya, tapi kami tidak bersedia karena ‘tidak tega’ dan tidak kuasa mengambil gambar-gambar tersebut. Nampak barang bukti berupa pakaian, dompet, jam tangan dan cincin milik almarhum tergeletak di salah satu sudut ruang otopsi, tidak ada yang berusaha mengamankannya.

Otopsi dimulai sekitar pukul 17.00 WIB, dan baru berakhir sekitar pukul 21.00 WIB. Di antara jarak tersebut ada beberapa paduan suara dari ibu-ibu yang datang dari gereja untuk menyanyi. Saat itu juga, Wakil Kepala Polda Papua, Raziman Tarigan, mengantarkan karangan bunga pertama, dari Polda Papua. Telephon tidak pernah berhenti berdering, bahkan belasan kali panggilan menunggu terus saja memanggil. Ketika proses otopsi hampir selesai, Kepala Polda Papua menelephon, “Saya, Kepala Polda Papua, saya sekarang masih berada di Bali, tetapi besok saya akan ke Jayapura untuk membantu mengungkapkan pembunuhan bapak Theys”, demikian janjinya.

Setelah proses otopsi selesai, dilanjutkan dengan pemberian formalin, orang-orang yang berdatangan perlahan mulai berkurang mendekati tengah malam. Kamar jenazah yang awalnya sesak kini mulai terasa sepi lagi, tetapi saya tidak berhenti menerima telephon dan SMS. “Salam buat beliau”, kata seorang teman yang mencoba menghibur, ketika saya mengatakan lewat SMS bahwa saya sedang melihat Theys yang sedang tidur, jaraknya tak lebih 2 meter dari tempat saya duduk di lantai.


Bersambung . . .

Read More......

Selasa, 28 Oktober 2008

BAGIAN 1: Skenario Penangkapan

Penangkapan tokoh PDP, yakni Theys Eluay, Thaha M. Alhamid, Pdt. Herman Awom, Jhon Mambor dan Don Flassy menandai perjalanan panjang PDP dalam ‘penjara kecil’. Peristiwa ini diawali dengan penangkapan terhadap Thaha M. Alhamid pada 28 November 2000, ketika satu pasukan mobil TKP dari Ditserse Polda Papua mendatangi rumah yang saat itu ditempati Thaha M. Alhamid, di Bucen II No. H 6 Entrop, Jayapura. Tim Serse Polda Papua menyampaikan Surat Perintah Penangkapan. Ketika itu, pihak Polda berjanji, bahwa beliau hanya dimintai keterangan. Kala itu sempat terjadi perdebatan, namun kemudian Thaha M. Alhamid ikut ke Polda Papua dengan menggunakan mobil sendiri.


Setelah diperiksa selama kurang lebih 4 jam, Thaha M. Alhamid tidak diijinkan pulang dan langsung diberikan Surat Perintah Penahanan (Sprin-Han/09/XI/2000/Dit Serse). Thaha dan teman-teman PH yang mendampingi terkejut, seorang teman PH mendatangi ruangan Tukarno, Direskrim Polda Papua untuk melakukan pembicaraan, namun pihak Polda bersikeras melaksanakan kewenangannya sesuai dengan ‘perintah’ yang diterima dari atasan. Istri Thaha M. Alhamid datang untuk bertemu suaminya dan membicarakan persiapan dan tindakan yang akan dilakukan setelah menerima Surat Perintah Penahanan. Saat itu skenario penahanan bahkan persidangan PDP sudah dimulai.

Keesokan harinya, pihak Serse Polda Papua bertemu Theys dan memintanya datang (diperiksa) di Polda Papua. Mengetahui pengalaman yang terjadi pada rekannya, Thaha M. Alhamid, Theys menyatakan bersedia datang ke Polda asalkan hanya memberikan keterangan dan tidak ada penahanan. Pihak Reskrim Polda menyetujui usul tersebut, dan Theys kemudian datang. Akan tetapi setelah diperiksa, hal yang sama dialami pula oleh Theys, diberikan Surat Perintah Penahanan. Theys sangat marah, sambil mondar-mandir di ruangan Serse. Theys tidak berhenti mengomel, tapi tidak ada satu pun orang yang berani mendekat. Theys sempat menelpon istrinya dan mengatakan, “lihat saja nanti, mereka akan bawa pulang kami dengan mobil mayat...”. Polda Papua dianggap telah ingkar, dan Direskrim mengelak serta mengatakan bahwa kesepakatan memang telah berubah.

Hari berikutnya tim Serse Polda Papua kembali melanjutkan skenario penangkapan. Kali ini terhadap Jhon Mambor, seorang mantan tahanan politik di tahun 1980-an, dan penah mendekam di penjara Kali Sosok selama belasan tahun. Pria pendiam ini dijebak juga dalam proses pemeriksaan. Saat itu Tim PH kembali menentang sikap Polda dan menyatakan bahwa Polda melakukan semua ini atas ‘pesanan tertentu’ tanpa memperhatikan kondisi riil di masyarakat. Sebab setiap orang yang dipanggil untuk diperiksa sudah ada skenario untuk ditahan, siapa yang memesan skenario ini?
Di hari yang sama, aparat kepolisian dari satuan Serse Polda Papua menangkap Don Flassy di pelataran parkir Bapedda, Kantor Gubernur Papua, tempat kerja Don Flassy. Don Flassy sangat marah menuduh Polda tidak memiliki etika, melakukan penangkapan di tempat umum, memperlakukan dirinya seperti penjahat yang melakukan pembunuhan.

Pendeta Herman Awom adalah orang yang terakhir ditangkap (menyerahkan diri). Ketika mengetahui ke empat tokoh PDP telah ditangkap, beliau sudah menduga bahwa proses pemanggilan yang dilakukan terhadap dirinya akan juga mengalami nasib yang sama. Saat itu beliau sedang menghadiri sidang tahunan di Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga. Melalui komunikasi yang dilakukan antara PH, pendeta Herman Awom dan pihak Polda, maka direncanakan waktu dan proses untuk ‘memenuhi’ panggilan Polda Papua tersebut. Inti kesepakatan itu adalah agar tidak dilakukan penangkapan terhadap beliau di saat turun dari pesawat di Bandara Sentani.
Pendeta Herman Awom tiba di Jayapura pada 5 Desember 2000, setelah dijemput oleh PH dan keluarga, rombongan menuju kantor Sinode GKI di Argapura, untuk mengadakan pertemuan singkat, baru kemudian ramai-ramai mengantar beliau ke Polda Papua. Waktu itu, hari sudah menjelang sore.

Saat memasuki pelataran Polda, pendeta Herman Awom yang mengenakan jubah pendeta bersikap sangat tegang. Di ruang teras Ditserse Polda, sebelum pemeriksaan dilakukan, pendeta Herman Awom mengangkat tangan sebagai mana laiknya seorang pendeta di mimbar. Menurut Thaha M. Alhamid, sikap itu hanya bermakna dua, jika tidak memberikan berkah maka akan mendatangkan bencana. Dan jatuhnya pesawat yang membawa Muspida Papua pada 8 Januari 2001 silam, diyakini oleh kelima tokoh PDP sebagai salah satu dari ‘bencana’ tersebut.

Penangkapan dan penahanan 5 tokoh PDP tersebut sangat disayangkan, karena sebelumnya sekitar bulan Juli 2000, Theys dkk, sudah diperiksa berkaitan dengan pelaksanaan Kongres Papua 2000. Pemeriksaan kala itu berlangsung lancar dan tanpa ada kesan bahwa akan ada penangkapan dan penahanan beberapa bulan setelah proses tersebut. Sikap mengejutkan ini menunjukkan bahwa Polda di bawah tekanan kepentingan tertentu.

Masa penahanan PDP, khususnya selama di Polda Papua jauh dari hal yang menyenangkan. PDP diberikan 2 kamar yang kotor, penuh dengan coretan dinding, sebagaimana kamar penjara pada umumnya. Theys, melalui kami, meminta ijin kepada pihak Polda untuk mendatangkan orang dan cat untuk ‘merenovasi’ kamar mereka. Kepada Polda Papua, kami mengatakan bahwa PDP adalah tahanan politik pertama di era reformasi, tentu ini memberikan penilaian tersendiri buat pemerintah, terlebih buat Polda Papua, yang diminta hanya ijin, soal beli cat dan tenaga akan disiapkan oleh Theys. Pihak penanggungjawab sel mulanya keberatan dengan permintaan ini, akan tetapi beberapa hari setelah itu, Kapolda mengirimkan orang berikut cat untuk membersihkan kamar tahanan PDP. Rupanya, “Kapolda malu kalau ada berita bahwa untuk membersihkan kamar tahanan saja harus menggunakan fasilitas PDP”, ’ujar seorang perwira penanggungjawab sel di Polda Papua.

Di tahanan Polda Papua, segala peraturan yang berkaitan dengan PDP, setiap harinya bisa berubah-ubah. “Ada 44 macam”, kata istri Thaha Alhamid. “Padahal kita hanya perlu 1 macam”. Jam kunjungan kadang berubah, kadang yang mengunjungi bisa masuk ke ruang kecil, serupa ruang tamu yang merupakan bagian depan dari kamar tahanan, kadang pengunjung hanya dibiarkan berkomunikasi lewat pintu berjeruji. Pernah juga para pengunjung tidak diijinkan bertemu dan diminta untuk menitipkan barang bawaan mereka, termasuk makanan di pos penjagaan depan saja.
Sering juga kami harus bersitegang dengan para penjaga yang tidak mengijinkan masuk. “Kamu yang tunggu di sini”, kata kami kepada seorang petugas sambil menunjuk pojok ruang tamu tahanan, ketika seorang penjaga kembali melarang kami untuk bertemu Theys dkk. “Kamu tahu isinya KUHAP? Bahwa PH, keluarga, petugas kesehatan dan pelayanan rohani boleh bertemu dengan tahanan?”. Kondisi ini sungguh memberikan kesan yang kurang nyaman, sebab dari perilaku yang dialami Theys dkk, di Polda, seolah-olah Theys dkk, sudah menjalani proses pemidanaan.

Saat itu bulan puasa, Thaha M. Alhamid yang beragama Islam membutuhkan keleluasaan untuk sholat, mandi, menyiapkan makan untuk sahur dan berbuka puasa dan lain-lain sehingga meminta agar pintu sel-nya tidak dikunci, karena toh mereka masih dibatasi dengan lorong dan ruang kecil serta pengamanan yang cukup ketat. Permintaan itu pun harus disampaikan berulang kali baru dipenuhi pihak Polda.

Menjelang natal, Theys menghubungi istrinya agar menyiapkan pohon natal untuk dibawa ke tahanan mereka. Seorang perwira polisi dengan kata menghibur mengatakan “jangan khawatir, bapak-bapak akan natalan dan lebaran di rumah, tidak usah sibuk untuk pohon natal”. Di waktu yang sama memang PH dan keluarga membuat surat permohonan Penangguhan Penahanan dengan alasan kemanusiaan, agar para tahanan diizinkan merayakan natal dan lebaran bersama keluarga di rumah masing-masing. Diketahui bahwa pada saat itu Polda sempat mengundang Muspida dan tokoh agama untuk membahas permohonan penangguhan penahanan tersebut dan meminta jaminan dari peserta rapat untuk mengabulkan surat permintaan keluarga dan PH. Konon kabarnya, tidak ada yang bersedia untuk menjamin. Kenyataan itu sempat membuat para tahanan menjadi sangat kecewa dengan unsur Muspida dan pimpinan agama di Papua.

Ketika natal tiba, istri pendeta Herman Awom dan anak-anaknya sempat menangis karena tidak diizinkan bertemu langsung. Pendeta Herman Awom hanya dipersilahkan untuk memimpin doa dan menikmati natal dengan dibatasi oleh pintu jeruji. Kami minta istri pendeta untuk bersabar, sambil terus bersikeras berargumentasi dengan penjaga. Kadang penjaga memang hanya melaksanakan perintah menjaga, sedangkan mereka agak kurang mengerti untuk berunding dan memahami maksud dari peraturan yang ada, sehingga kita perlu bicara dengan pimpinannya, biasanya perwira jaga. Hingga akhirnya pintu jeruji dibuka dan pertemuan bisa dilakukan di ‘ruang tamu’ tahanan.

Hal yang sama dialami oleh istri Thaha M. Alhamid ketika membawa kedua anaknya untuk sholat Ied bersama di halaman Polda. Pihak penjaga sempat tidak mengizinkan Thaha M. Alhamid untuk shalat di lapangan Polda, mereka tidak mengetahui bahwa shalat Ied harus dilakukan berjamaah. Hingga akhirnya kami berusaha menghubungi langsung Direktur Reskrim Polda Papua, dan tak lama kemudian Thaha M. Alhamid bisa bertemu dengan istri dan anaknya untuk bersama-sama mengikuti shalat Ied di lapangan Polda.

Cerita soal ‘akan pulang’ atau ditangguhkan penahanannya berlangsung setidaknya sekitar 4 kali. Hal itu berarti juga sekitar 4 kali para tokoh PDP pernah berkemas-kemas, merapikan semua barang-barang mereka, berpakaian rapi lengkap dengan dasi sejak pagi hari. Namun akhirnya menjelang siang dan sore, negosiasi yang dilakukan gagal, lantas mereka membongkar kembali barang-barang dan kembali menempati sel tahanan Polda. Hal ini menimbulkan stress dan kemarahan yang luar biasa, terutama pendeta Herman Awom yang merasa dipermainkan.

Selama PDP dalam tahanan, pihak pers tak berhenti menuliskan berita tentang mereka. Kapolda Papua sempat berang ketika melihat wajah Theys dkk, di antara jeruji pintu ruang tahanan Polda Papua terpampang di headline salah satu surat kabar nasional, belum lagi beberapa berita PDP yang terus mendunia, bahkan wawancara ekslusif salah satu radio luar bersama Theys dilakukan dari dalam tahanan Polda.

Salah satu hal menarik ketika di tahanan Polda, PDP ditahan bersama beberapa anggota Polisi, terutama yang terlibat waktu penyerangan rumah sakit tentara Marthen Indey. Masing-masing tahanan PDP seolah-olah memiliki satu teman dekat (pengawal) yang setia berbagi. Polisi yang ditahan juga merasa ‘senang’ selama Theys dkk, ditahan karena mereka bisa ikut nimbrung waktu pintu tahanan dibuka, sebab biasanya mereka dikunci terus, menerima makanan di antara jeruji besi, bahkan mendapatkan makanan yang kurang istimewa, dibanding dengan tahanan PDP.

Pada peristiwa penyerangan Polsek Abepura, tanggal 7 Desember 2000, malam itu di penjara Polda Papua sempat ramai, banyak isu berkembang, mulai dari keterlibatan PDP yang jelas-jelas sudah ditahan, hingga ada diskusi untuk meminta salah satu tokoh PDP keluar dan bicara dengan masyarakat. Nampaknya muncul ketakutan yang luar biasa dari pemerintah, khususnya pihak Polda Papua. Kendati pemerintah telah menangkap dan memenjarakan orang Papua, akan tetapi tidak mampu membendung aspirasi rakyat Papua.

Saat PDP ditahan, Otsus pun mulai ramai dibicarakan. Muncul juga isu bahwa penahanan mereka hanya sandiwara, hal ini sempat ditiupkan oleh salah satu wartawan dari obrolan-obrolan lepas. Kata yang berkembang, Theys dkk, menyetujui Otsus dan sudah menerima uang sekitar Rp. 40 M, sebagai sogokannya. Istri Thaha M. Alhamid yang juga mendengar kabar ini sangat marah. “Apakah mereka tidak tahu kesedihan dan penderitaan yang keluarga alami?”, tanyanya. Apakah hal ini ada kaitannya dengan kunjungan Barnabas Suebu dan Phil Erari ketika itu, mereka sempat bicara soal Otsus, PDP menyatakan sikap tegasnya menolak, entah siapa yang memanipulasi pertermuan itu dengan mengatakan bahwa PDP telah menerima dan menandatangani persetujuan mereka terhadap Otsus dari dalam penjara Polda Papua.

Menjelang tahun baru 2001, presiden Abdurahman Wahid mengunjungi Papua. Di dalam tahanan Polda sempat berkembang diskusi berkaitan dengan sikap Gus Dur. Diketahui, bahwa Gus Dur-lah yang telah membantu rakyat Papua, melalui PDP, sebanyak Rp. 1 M, untuk pelaksanaan Kongres Papua 2000 yang kemudian dituduh sebagai kegiatan separatis. Ada isu bahwa Gus Dur akan mengunjungi mereka, akan tetapi sebelum isu itu menguat diduga telah terjadi negosiasi terbatas, yang intinya bahwa Gus Dur akan membuat pernyataan untuk membebaskan Theys dkk, dengan 3 syarat: pertama, Theys dkk, harus tunduk dan patuh pada NKRI; Kedua, PDP menyerukan TPN/OPM untuk harus ‘turun gunung’. Dan syarat ketiga, mewakili rakyat Papua, PDP menyatakan menerima Otsus. Theys yang mengetahui hal itu mengatakan, “Saya tidak mau menghianati rakyat Papua lagi”.

Setelah masa penahanan di kepolisian berakhir, Theys dkk, akan dialihkan pada penahanan Kejaksaan Negeri. Hari itu tanggal 29 Desember 2000, rombongan Theys dkk, keluarga dan PH menyeberang dari Polda ke Kejaksaan Negeri yang letaknya berhadapan. Walaupun Theys dkk, masih dalam masa penahanan, namun mereka sedikit terhibur karena setidaknya akan ‘pindah’ penjara dan berharap ada sedikit situasi psikologis yang berubah. Akan tetapi Theys dkk, dan PH sangat marah ketika mengetahui bahwa mereka hanya mengurus administrasi saja, setelah itu tetap dititipkan pada Polda Papua. Keputusan ini sangat mungkin didasari ketakutan yang berlebihan dari pemerintah akan bahayanya proses penahanan tanpa proses ekstra pengamanan dan ‘isloasi’.

Sempat terjadi keributan, anak bungsu pendeta Herman Awom menangis di ruang Kejaksaan. Setelah tim PH bertemu dengan Kepala Kejaksaan Negeri Jayapura, maka semua administrasi diubah, Theys dkk, akhirnya dititipkan di LP Abepura. Satu babak penderitaan dari satu perjalanan penjara kecil berakhir dan memulai satu kisah baru di LP Abepura.

Bersambung . . .

Read More......

Pengantar

Pembaca Andawat yang terhormat.

10 November merupakan salah satu hari bersejarah bangsa Papua. Karena di tanggal 10 November 2001, Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay diculik dan dibunuh oleh pasukan Kopasus Tribuana yang bermarkas di Hamadi Jayapura. Peristiwa itu juga menyimpan rahasia dan keingintahuan yang mendalam karena hingga kini, Aristoteles Masoka, supir Theys tidak ditemukan keberadaannya.

Memperingati 7 tahun peristiwa kelam tersebut, Andawat akan menampilkan “Serial Theys dan PDP: Mengadili Demokrasi Damai Rakyat Papua”. Judul ini dikutip dari naskah Pembelaan Theys dkk, pada persidangan mereka di Pengadilan Negeri Jayapura, pada 14 Mei 2001 – 4 Maret 2002.
Tulisan ini berisi rekaman peristiwa yang pernah kami saksikan dan ikuti dalam perjalanan sejarah PDP, mulai dari penangkapan, penahanan, persidangan, penculikan dan pembunuhan Theys, hingga akhir persidangan PDP pada tanggal 4 Maret 2002 di Jayapura. Sudah tentu peristiwa tersebut tak semuanya dapat kami rekam dengan baik karena banyak sekali peristiwa yang terjadi saat itu.

Sosok Theys sendiri mempunyai cacatan sejarah yang sangat panjang dalam ‘pengabdiannya’ pada negara Merah Putih. Beberapa kritikan pedas dan protes terhadap sikapnya deras mengalir ketika pilihannya bergabung pada perjuangan kemerdekaan rakyat Papua, menjadi Ketua PDP bahkan hingga hari ini perdebatan tentang sosoknya tak pernah sepi.
Informasi mengenai Theys dan PDP juga sudah sering disampaikan oleh banyak teman dalam berbagai tulisan. Semoga tulisan ini dapat berbagi cerita tentang “The Other Side of Theys and PDP”.

Read More......
hardin-andawat.papua