Senin, 10 November 2008

Hari-hari Menjelang Theys Diculik (Bagian 1)

Pembaca Setia Andawat . . .

Pada sesi ini, tulisan mengenai Theys cs, seharusnya bercerita tentang peristiwa dan pengalaman mereka selama dalam masa tahanan di LP Abepura, akan tetapi karena saat ini menjelang tanggal 10 November, di mana 7 tahun silam, Theys diculik dan dibunuh, maka kami mencoba melewati dulu satu tahapan tersebut, dan mencoba menuturkan kisah penculikan dan pembunuhan Theys Eluay yang sempat kami rekam.

Malam itu, tanggal 10 November 2001, sekitar pukul 22.35 WIB, ketika kami dihubungi oleh istri dari Thaha Alhamid, beliau menuturkan bahwa istri Theys baru saja menelephon dan mengatakan jika Aristoteles Masoka, supir Theys, baru saja menelephon dirinya dengan gugup dan tergesa-gesa: “mama, bapak diculik, saya akan pergi cek, karena ‘mereka’ yang culik…”.

Hari itu, Theys keluar dari rumah agak siang dan seperti biasa, pada malam hari baru balik lagi ke rumahnya di Sentani. Tujuannya untuk mengikuti rapat PDP dan urusan lainnya. Menjelang malam, Theys mengikuti acara peringatan Hari Pahlawan di markas Kopasus Tribuana di Hamadi, Jayapura.

Berita itu mengubah segalanya, rasanya sulit dipercaya, tetapi segalanya sudah terjadi. Kemudian terjadi komunikasi yang sangat intensif di antara orang-orang PDP, pengacara dan juga masyarakat lainnya yang berusaha mencari informasi yang jelas.

Setelah pertemuan PDP pada siang harinya, Thaha Alhamid dan Pendeta Herman Awom ketika itu langsung menuju kea rah Abepura, sedangkan Theys diperkirakan kembali ke hotel Matoa sebelum ke markas Kopasus di Hamadi.

Undangan untuk Theys mengikuti Perayaan Hari Pahlawan, 10 November, disampaikan secara lisan oleh Komandan Tribuana, Letkol. Hartomo. Pagi hari sebelumnya, Hartomo memang bertandang ke rumah Thyes. Hartomo saat itu membawa bingkisan berupa baju kemeja lengan panjang berwarna putih. Sebenarnya beberapa hari sebelumnya, anggota PDP yang lain juga mendapatkan undangan yang sama, namun mereka mengurungkan niat untuk hadir, bahkan mempertanyakan kedatangan anggota Kopasus yang membawa undangan tersebut. Rumah Thaha Alhamid sempat juga dikunjungi oleh salah seorang anggota Kopasus Tribuana, Dony Hutabarat, yang kemudian diketahui merupakan dua pimpinan eksekutor penculikan dan pembunuhan bersama dengan kapten Reynaldi.

Menjelang pukul 23.00 WIB, kami sudah mendapatkan konfirmasi yang pasti, bahwa Theys diculik. Malam itu, berita nasional sebuah stasiun televisi nasional langsung memberitakan penculikan tersebut. Komunikasi terus dilakukan hingga pagi hari saat matahari sudah muncul dan ‘membakar’ semua lapisan langit, “… sepertinya ini pertanda buruk...”, kata istri Thaha Alhamid kepada saya di ujung telepon ketika itu.

Hari-hari terakhir bertemu Theys seperti berjalan sangat cepat dan biasa saja. Tanggal 2 November 2001, bersama Muridan, seorang peneliti senior di LIPI yang diminta untuk menjadi saksi ahli pada persidangan PDP, dan beberapa pengacara lain, kami mendiskusikan beberapa hal menyangkut agenda persidangan PDP sebelum persidangan pada 4 November 2001.

Saat itu, Theys banyak menerangkan sejarah foto-foto yang memenuhi ruang tamunya. Keesokan harinya, rumah Theys lebih ramai karena hari itu tanggal 3 November adalah hari ulang tahun beliau. Beberapa wartawan yang hadir sempat menanyakan soal persidangan besoknya. Semua orang ramai menikmati makanan yang disediakan istri Theys, “… kalau tidak mau makan, kamu bayar, karena istri saya sudah masak untuk kalian...”, selalu seperti itu kalimat yang disampaikan Theys bila melihat tamunya enggan mencicipi makanan yang telah disediakannya.

Tanggal 4 November 2001, sebelum memulai persidangan, Theys bersikap agak ‘aneh’, karena beliau membawa kamera dan memotret beberapa orang, seperti polisi yang menjaga jalannya persidangan, para Pengacara, termasuk meminta kesediaan kesediaan rekan-rekan PDP, sesama terdakwa: Thaha Alhamid, Don Flassy dan Pendeta Herman Awom serta Jhon Mambor untuk dipotret bersama istrinya masing-masing.

Kesesokan harinya, 5 November 2001, pertemuan terakhir terjadi di bandar udara Sentani, pada saat mengantar Muridan balik ke Jakarta. Theys yang akan ke Timika waktu itu terlihat berbicara dengan beberapa orang yang berpostur tegap laiknya potongan tubuh militer. Setelah itu Theys kemudian menuju ke tempat kami duduk dan diskusi soal SPP (Solidaritas Perempuan Papua) yang baru terbentuk. Beliau ingin bertatap muka langsung dengan SPP setelah balik dari Timika. “Kasih tahu ibu Koibur…”, katanya. Kemudian Theys menunjukkan cincinnya, dan mengatakan “ini baru, bagus kah..?”. Tidak lama kemudian, pesawat telah membawa Theys ke Timika.

Kembali ke soal penculikan tadi. Pagi hari, 11 November 2001, setelah mendengar peristiwa penculikan Theys, para pengacara kumpul di rumah Thaha Alhamid untuk membahas langkah yang harus ditempuh. Istri Theys juga kami minta untuk hadir. Di sela-sela diskusi, informasi mengenai jenazah Theys mulai banyak diberitakan. Setelah membuat kronologis singkat, rombongan pengacara menuju Kepolisian Daerah (Polda) Papua, tujuannya mengantarkan istri Theys untuk membuat laporan polisi.

Pada hari yang sama, komandan Kopasus di markasnya di Hamadi, mengadakan konferensi pers yang intinya menyatakan bahwa mereka tidak tahu menahu dan tidak terlibat dalam peristiwa penculikan dan pembunuhan Theys. Konferensi pers langsung dipimpin oleh Letkol. Hartomo, komandan Kopasus Tribuana, yang pada persidangan Theys di Surabaya mengakui dan terbukti secara sah dan menyakinkan telah membunuh Theys. Kita bisa bayangkan betapa kebohongan publik bisa dengan gampang dilakukan tanpa merasa bersalah sedikit pun oleh sebuah satuan elit militer di negara ini.

Sampai di Polda Papua, semua seperti sudah mengetahui peristiwa tersebut. Diketahui juga, bahwa tim dari Polda Papua dan Kepolisian Resort (Polres) Kota Jayapura sedang melakukan pencarian. Saat mendampingi istri Theys, kami mendapatkan informasi bahwa mobil dan jenazah Theys sudah ditemukan di sekitar perbatasan antara Indonesia dan PNG. Beberapa orang pengacara masih mendampingi istri Theys di Polda, sedangkan sebagian lainnya mengikuti rombongan PDP menuju tempat ditemukannya mobil dan jenazah.

Di dalam mobil menuju Koya, tempat ditemukannya mobil dan jenazah, komunikasi terus dilakukan dan masih terdapat simpang siur berita mengenai posisi mobil dan jenazah Theys. Di Koya Koso, mobil rombongan sempat berhenti ketika bertemu dengan mobil lain yang juga sedang melakukan pencarian. Kemudian perjalanan dilanjutkan. Ketika memasuki Koya Timur, kami bertemu dengan ajudan Theys, Nelson Sorontouw. “Mereka sudah temukan mobil dan bapak Theys”, katanya terbata-bata. Kami semua terdiam. Thaha Alhamid sempat berbicara sebentar dengan dia, lantas mobil kami melaju lagi sambil mengikuti sepeda motor yang dikendarai Nelson Sorontouw.

Di lokasi di mana mobil dan jenazah Theys ditemukan, sudah banyak polisi. Kami sempat bertanya kepada salah seorang anggota intel dari kepolisian, “benar itu jenazah bapak Theys? Bapak sudah lihat?”, tanya kami seolah tidak percaya. “Iya, tentu, siapa yang tidak tahu bapak Theys? Itu benar dia yang ada di dalam mobil”, kata anggota intel tersebut menegaskan. Kami juga melihat Kepala Polres Kota Jayapura, Daud Sihombing, sedang sibuk mengatur pasukan, dan kami dilarang mendekat. Seorang Pengacara, Iwan Niode, SH, tidak sabar, lantas berpura-pura menghidupkan handycam dan berjalan melewati police line. Kami juga ikut mendekat. Terlihat mobil yang tertahan di bibir jurang, dan ada Theys di dalamnya!!

Waktu terasa begitu lama, sementara polisi masih sibuk mengatur rencana evakuasi mobil dari jurang sambil menunggu mobil ambulance datang. Kami menunggu hampir 2 jam, baru kemudian proses evakuasi dilakukan. Mobil Theys ditarik oleh sebuah truk polisi. Jika tidak tersangkut di pepohonan, mobil itu pasti sudah sampai di dasar jurang. Setelah mobil berhasil diangkat, kami mulai mendekat, mengintip lewat kaca jendela mobil yang anehnya tidak pecah. Ketika itu jenazah Theys belum dikeluarkan dari dalam mobil.

Masih dapat diingat dengan jelas posisi Theys saat itu. Theys tetap berada di kursi depan di samping supir. Tapi tubuhnya, dari pinggang hingga ke atas, berbalik menuju kursi tengah. Terlihat ada memar di sekitar pinggang kiri dan kanan seperti bekas paksaan menghimpitkan tubuhnya di antara celah kursi.

Theys mengenakan celana jeans dan kemeja bercorak bunga cerah, jam tangan dan cincinnya masih utuh. Kami mengamati seluruh isi mobil, saat menunduk melihat benda-benda yang ada di bawah kursi. Terlihat ada gantungan baju dan serpihan kaca. Boy Eluay, anak tertua Theys, mendekat ke jendela kursi tengah, dia sempat mengusap bagian belakang kepala ayahnya. Tak lama kemudian jenazah dikeluarkan dan dibawa ke dalam mobil ambulance. Kali ini semuanya bergerak sangat cepat mendekat. Lantas semua rombongan mulai bergerak, beriringan menuju Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jayapura di DOK II.

Siang menjelang sore pada hari itu, situasi kota Jayapura sangat sepi dan mencekam. Kami sempat menghubungi beberapa orang teman untuk bergabung, namun ada yang enggan untuk ke luar rumah. Sementara itu telepon genggam kami tidak berhenti berdering saat ada signal, kemudian putus lagi, lantas ada lagi. Yorris Raweyai, seorang anggota DPR RI, juga menelephon menanyakan perkembangan terakhir, ketika kami keluar dari Koya Timur.

Sesampai di RSUD Jayapura, masyarakat Papua sudah ramai berkerumun, semuanya lebih banyak diam, tapi kemarahan dan juga kesedihan yang mendalam tergambar jelas di raut wajah mereka. Ada juga yang dengan lantang menyalahkan Kopasus. Polisi sempat berdiskusi dengan pihak PDP soal otopsi. Kami coba menghubungi Boy Eluay dan istri Theys untuk menanyakan pendapat dan kesediaan mereka soal otoposi jenazah. Istri Theys setuju, tetapi menyarankan kami untuk meminta persetujuan dari Boy Eluay. “Itu harus dilakukan supaya semua tahu penyebab kematian beliau”, jawab Boy Eluay ketika itu.

Ketika diminta tanda tangan sebagai persetujuan untuk dilakukannya otopsi, kami sempat bingung, karena baik Boy Eluay maupun istri Theys masih berada di Sentani, sedang menenangkan massa yang marah. “Kami tidak bisa ke situ (RSUD), karena di Sentani sedang kacau, toko-toko dibakar dan kami harus tenangkan masyarakat, kalian saja yang tanda tangan”, jawab istri Theys dan Boy Eluay. Kami lantas mewakili keluarga untuk menandatangani surat persetujuan otopsi.
Ini kali pertama saya menyaksikan orang diotopsi, dan orang itu adalah pemimpin Papua. Melihat cara kematiannya saja, saat jenazah masih di dalam mobil, adalah sesuatu yang sangat memilukan, apalagi harus menyaksikannya saat diotopsi.

Otopsi dilakukan di salah satu ruangan di kamar jenazah. Ruangan otopsi dipenuhi dengan anggota polisi dan mungkin juga tentara, sebagian besar sibuk mengambil gambar. Kami sempat beberapa kali keluar ruangan karena terasa agak mual. Ada seorang teman aktifis LSM yang meminta kami memotret untuknya, tapi kami tidak bersedia karena ‘tidak tega’ dan tidak kuasa mengambil gambar-gambar tersebut. Nampak barang bukti berupa pakaian, dompet, jam tangan dan cincin milik almarhum tergeletak di salah satu sudut ruang otopsi, tidak ada yang berusaha mengamankannya.

Otopsi dimulai sekitar pukul 17.00 WIB, dan baru berakhir sekitar pukul 21.00 WIB. Di antara jarak tersebut ada beberapa paduan suara dari ibu-ibu yang datang dari gereja untuk menyanyi. Saat itu juga, Wakil Kepala Polda Papua, Raziman Tarigan, mengantarkan karangan bunga pertama, dari Polda Papua. Telephon tidak pernah berhenti berdering, bahkan belasan kali panggilan menunggu terus saja memanggil. Ketika proses otopsi hampir selesai, Kepala Polda Papua menelephon, “Saya, Kepala Polda Papua, saya sekarang masih berada di Bali, tetapi besok saya akan ke Jayapura untuk membantu mengungkapkan pembunuhan bapak Theys”, demikian janjinya.

Setelah proses otopsi selesai, dilanjutkan dengan pemberian formalin, orang-orang yang berdatangan perlahan mulai berkurang mendekati tengah malam. Kamar jenazah yang awalnya sesak kini mulai terasa sepi lagi, tetapi saya tidak berhenti menerima telephon dan SMS. “Salam buat beliau”, kata seorang teman yang mencoba menghibur, ketika saya mengatakan lewat SMS bahwa saya sedang melihat Theys yang sedang tidur, jaraknya tak lebih 2 meter dari tempat saya duduk di lantai.


Bersambung . . .

0 komentar:

hardin-andawat.papua