Rabu, 12 November 2008

Hari-hari Menjelang Theys Diculik (Bagian 2)

Tiba-tiba perut terasa lapar sekali. Kami baru sadar, rupanya sejak pagi hari tadi belum makan. Sementara di luar sana tidak ada satu pun toko yang buka sejak pagi. Jadi kami tak akan mendapatkan orang yang menjual makanan hari itu. Syukurlah, teman kami, seorang suster berbaik hati untuk merebus mie instan dan telur, dan kami pergi makan ke tempatnya yang kebetulan hanya berseberangan jalan dengan kamar jenazah.

Menjelang pagi baru terasa ngantuk, kami bergantian tidur dalam mobil, sebagian yang lain di teras kamar jenazah. Pagi sekitar pukul 05.00 WIB lebih, Thaha Alhamid, Pendeta Herman Awom dan Leo Imbiri yang sejak awal bersama-sama dengan kami langsung balik ke rumah, untuk bersiap-siap menghadiri pertemuan dengan pihak Polda Papua. Saat itu orang-orang mulai berdatangan lagi, mereka mengisi lagu-lagu rohani di hadapan jenazah. Sementara helikopter terus berputar-putar dengan suaranya yang sangat ribut di atas kepala. Mendengar paduan suara tersebut, seorang wartawan yang menelephon mengatakan, “saya dapat merasakan kesedihan dan situasi yang mencekam di Papua”.

Situasi memang sangat tegang, apalagi ketika massa Papua semakin banyak berdatangan, jumlahnya kini diperkirakan mencapai ribuan orang, sedangkan anggota PDP ketika itu masih mengadakan pertemuan di Polda. Pagi itu istri Theys datang bersama anak-anaknya, suasana haru sangat terasa di dalam kamar jenazah.

Menjelang tengah hari, jenazah hendak dibawa ke DPRP (ketika itu DPRD Irian Jaya) untuk disemayamkan (Theys adalah mantan anggota DPRD Provinsi Irian Jaya, 2 periode). Pada saat itu terjadi perdebatan. Rakyat yang hadir memaksa agar jenazah digotong beramai-ramai berjalan kaki, tidak menggunakan mobil ambulance. Setelah pihak PDP berkonsultasi dengan petugas RS, akhirnya Pendeta Herman Awom menjelaskan bahwa dengan pertimbangan medis, nampaknya agak riskan jika menggotong jenazah yang sudah diotopsi sebelumnya. “Sebaiknya jenazah tetap dibawa dengan ambulance, dan kita semuanya jalan kaki”, demikian salah satu ‘orasi’ Pendeta Herman Awom. Akhirnya massa setuju.

Suasana hari itu sudah lebih terkendali, namun semua aktivitas sekolahan, perkantoran lebih memilih libur. Jalan menuju ke gedung DPRP tidak begitu lama. Sesampai di gedung rakyat tersebut, terjadi keributan yang luar biasa. Massa memenuhi halaman, di dalam gedung massa lebih membludak lagi. Sebagai tokoh Papua, Theys bukan saja milik orang Sentani, tetapi seluruh rakyat Papua. Karenanya, ada massa yang menghendaki Theys dimakamkan di halaman DPRP.

Sementara pihak keluarga dan beberapa orang lainnya berpandangan dan meminta agar sebaiknya dimakamkan di Sentani supaya dekat dengan keluarga dan menghindari hal-hal lain yang mungkin saja terjadi di waktu yang akan datang. Masing-masing kelompok bersikeras, dan suasana di DPRP menjadi semakin tegang. Sore hari baru dicapai kesepakatan: jenazah tidak dimakamkan di DPRP, tetapi akan disemayamkan selama satu malam. Pada saat yang bersamaan, ribuan massa dari Sentani datang dengan menggunakan mobil, motor dan jalan kaki, halaman DPRP penuh sesak.

Salah seorang keponakan Theys menunjukkan tas ransel yang dibawanya. “Saya simpan barang-barang bapak di dalam sini”, katanya. Ternyata semua pakaian dan benda-beda yang dikenakan Theys yang seharusnya menjadi Barang Bukti (BB) tergeletak begitu saja di ruang otopsi. Semua seakan lupa dengan barang-barang ‘berharga’ tersebut. Dialah yang berinisitaif untuk menyimpannya. “Tidak ada polisi yang ambil, mereka semua langsung pergi’, tambahnya. Kami sepakat untuk mengamankan BB hingga bertemu dengan penyidik dan memberikanya kepada penyidik. Hingga malam tiba, sebagian dari kami balik ke rumah, sementara yang lainnya ikut menginap di DPRP.

Pagi hari, 13 November 2001. Persiapan pemberangkatan jenazah dari DPRP ke Sentani mulai dilakukan. Hari itu udara mendung, tidak ada cahaya matahari yang menyengat. Ambulance dengan jenazah di dalamnya mulai keluar dari gedung DPRP pukul 09.30 WIB, dan tiba di Sentani pukul 17.00 WIB. Sementara ‘ujung’ rombongan pengantar yang terakhir masuk di pendopo sekitar pukul 23.00 WIB. Dapat dibayangkan betapa banyak yang mengiringi jenazah ketika itu. Dari waktu tempuh yang sangat lama dan panjang rombongan mencapai 10 km, diperkirakan ada sekitar 30 ribu massa ketika itu.

Wujud simpati dari berbagai pihak sangat terasa. Sepanjang jalan dari DPRP di Jayapura, sampai di pendopo di Sentani, terlihat begitu banyak yang menyediakan minuman untuk pengantar, memasang bunga di halaman pagar, lambaian bunga dari orang yang berbaris di pinggir jalan, hingga tulisan simpati yang terbuat dari tripleks atau kertas manila, seperti yang dilakukan oleh pemilik bengkel di sekitar Abepura dan anak-anak pengajian di masjid Sentani. Ada bunga di mana-mana, semua kendaraan menyelipkan bunga pada kaca mobil ataupun stang motor mereka. Di jalanan bunga-bunga bertebaran, atap mobil jenazah penuh dengan timbunan bunga.

Supir mobil ambulance nyaris tak menghidupkan mesin mobilnya, mobil bergerak karena didorong oleh puluhan massa yang bergerak perlahan. Penuh duka, tertunduk dan sambil terus menangis. Di beberapa ruas jalan tertentu, masyarakat Sentani sempat membuat upacara singkat, ada tarian atau sekedar menaburkan bunga ke mobil jenazah, maupun kepada istri Theys.

Sesampai di pendopo massa pun sudah sangat padat dan sesak. Diputuskan bahwa waktu pemakaman akan dilakukan satu minggu kemudian, tepatnya tanggal 17 November 2001. Ini dilakukan untuk menunggu para Panel dari Dewan Papua untuk berkumpul di Jayapura. Selama jenazah Theys di Sentani, kunjungan dari berbagai pihak terus berdatangan, hampir semua paguyuban dari berbagai suku non-Papua datang mengunjungi, memberikan bantuan, menyumbangkan tari-tarian. Tepatnya, semua orang, lintas agama, lintas suku, ikut memberikan dukungan moril, materil dan simpatinya terhadap keluarga Theys dan kepada rakyat Papua pada umumnya.

Hari-hari menjelang pemakaman, juga setelah pemakaman, selalu saja diwarnai dengan berbagai masalah pelik yang muncul. Saking banyaknya masalah dan datang pada waktu yang bersamaan, hingga terkadang kami tidak sadar bahwa itu ‘soal’ dan sangat beresiko besar. Kendati begitu, kami menjalani dengan sangat hati-hati dan terus saling berkomunikasi. Saat itu perhatian seluruh dunia ditujukan ke Papua, mereka ingin tahu apa yang akan terjadi setelah itu. ‘Pembalasan’ seperti apa yang akan dilakukan oleh rakyat Papua.

Konon ketika itu, I Made Mangku Pastika, Kepala Polda Papua pun hampir tak bisa duduk tenang di kantornya. Beliau terus was-was menjaga dan mengamati setiap informasi dan perkembangan yang terjadi. Semua tahu bahwa saat itu bukanlah waktu yang mudah untuk mengatasi rasa amarah dan kekecewaan, namun sulit dibayangkan bahwa pada saat itu rakyat Papua masih tetap menggunakan akal sehat dalam menghadapi situasi yang sulit, di saat pemimpinnya dibunuh.

Hari kedua setelah jenazah disemayamkan di pendopo, seorang anggota polisi menanyakan barang bukti, berupa pakaian dan beberapa lainnya yang dikenakan Theys saat ditemukan. Tapi sebelum memberikannya, kami sempat marah, karena pekerjaan polisi yang tidak professional ini.

Soal jantung Theys sendiri, sempat ramai juga diperdebatkan dan beritanya begitu simpang siur. Waktu itu, setelah otopsi, rencananya jantung Theys akan dikirim ke Labforensik Polri untuk diperiksa. Walaupun sudah ramai dibicarakan, namun tindakan yang diambil oleh pihak kepolisian bersama pihak rumah sakit terkesan lamban dan secara khusus tidak serius memperhatikan dan menjaga keberadaan jantung tersebut.

Banyak orang memberikan tanggapan tentangnya, bahkan seorang pimpinan LSM di Jayapura membuat berita, bahwa jantung Theys sudah dibawa ke Jakarta. Anehnya, berita tersebut dikutip oleh Kepala Polda Papua saat ditanya soal keberadaan jantung Theys. Padahal sempat terjadi kebingungan di antara pihak kepolisian dan juga pihak rumah sakit mengenai keberadaan organ tubuh Ondofolo Sentani itu.

Yang terjadi sebenarnya adalah begini. Setelah diotopsi, jantung disimpan dalam toples dan dilapisi kertas timah. Entah kenapa, toples tersebut tergeletak begitu saja tanpa ada yang menghiraukan. Untung saja seorang perawat mengamankan dan menyerahkannya kepada Sekjen PDP, Thaha Alhamid. Pihak rumah sakit sempat ketakutan ketika mengetahui bahwa mereka lalai menyimpannya. Bahkan kami sempat dihubungi Direktur Rumah Sakit dengan nada panik.

Senyatanya, jantung Theys tidak pernah dibawa kemana-mana, seperti banyak berita yang beredar. 2 hari kemudian, istri Theys menyatakan bahwa ada ‘pesan’ dari Theys yang datang dalam tidurnya dan mengharapkan agar jantungnya dikubur bersama dirinya. Toh, tanpa pemeriksaan jantung pun, sudah diketahui bahwa kematiannya tidak wajar.

Hari ketiga, saat mengunjungi rumah duka, kami mendapat bisikan dari seorang teman, bahwa salah seorang pembunuhnya adalah ‘orang batak’, berinisial DH (Dony Hutabarat). Dengan nama ini, saya punya pengalaman tersendiri. Delapan bulan sebelum peristiwa penculikan yang menghebohkan ini, seorang teman di masa SD dulu, yang kemudian masuk AKABRI, datang mengunjungi rumah saya. Waktu itu, saya sempat kaget, karena walau rumah kami saling berdekatan di asrama tentara, Bucend II Entrop, namun kami tidak akrab.

Teman itu datang memperkenalkan seorang temannya, anggota Kopasus Tribuana yang baru ditempatkan di Jayapura, namanya Dony Hutarabat. Kunjungan itu terasa aneh, karena kemudian Dony Hutabarat meminta nomor handphone dan beberapa kali mencoba menelephon dan menanyakan perkembangan PDP. Sebagai PH, kami menyatakan bahwa semua yang berkaitan dengan proses hukum PDP bukanlah hal yang tertutup, semua orang mengetahui dari media massa, sedangkan yang berkaitan dengan politik, tentulah bukan kewenangan dari pihak PH.

Kebiasaannya yang terus menerus menanyakan soal PDP membuat saya marah. Dony juga memberanikan diri datang ke rumah Sekjen PDP. Nampaknya dia ingin sekali bertemu langsung, tetapi kemudian ditolak oleh istri Sekjen PDP. Kami menduga dia mencoba ‘mendekati’ Sekjen PDP dengan pendekatan kultur. Untuk diketahui, istri Thaha Alhamid adalah perempuan asal Tapanuli Selatan bermarga Siregar.

Pertemuan dengan Dony Hutabarat pernah juga terjadi saat kami melihat korban yang meninggal, di kamar jenazah RS Jayapura setelah demo penolakan RUU Otsus di Gedung Olah Raga, Cenderwasih, Jayapura. Ketika itu Dony berdiri agak jauh, dekat pohon cemara. Dia sering menggunakan rompi warna krem. Rompi itu juga yang membuat kami dengan cepat dapat mengidentifikasi gambar dirinya di POMDAM pada saat dilakukan pemeriksaan oleh pihak POMDAM. Kala itu pihak POMDAM menunjukkan puluhan foto anggota Kapasus Tribuana, dan Doni terlihat jelas di dalam foto tersebut, juga dengan rompi kebanggaannya itu.


Peristiwa Penculikan
Diduga kuat, bahwa pada waktu Theys berpamitan untuk pulang setelah mengikut acara Hari Pahlawan. Ketika itu ada 2 orang yang juga ikut menumpang di mobilnya. Dan kemudian diketahui, bahwa kedua orang tersebut adalah anggota Kopasus, bagian dari Tim Penculikan. Selain itu, ada mobil dan juga setidaknya 4 buah motor yang merupakan rombongan penculik, mengiringi mobil Theys ketika itu. Mobil Theys dipaksa berhenti setelah melewati tingkungan dekat perumahan Pemda Entrop, tepatnya di lokasi yang terdapat bak sampah.

Seketika terjadi perebutan kemudi di mobil Theys. Aristoteles, supir Theys, dipaksa turun oleh salah seorang penculik yang berhasil menguasai setir mobil, sedangkan para penculik lainnya langsung melakukan aksi membungkam Theys dengan cara mencekik. Aris sempat bergantungan di pintu mobil sambil tetap memegang setir, sebagian kakinya bergantungan di bagian bawah pintu, sementara mobil terus melaju. Posisi demikian sempat berlangsung sekitar 30 meter, melewati 2 tikungan kecil setelahnya, baru kemudian Aristoteles terpelanting jatuh.

Aris kemudian terlihat memberhentikan mobil Suzuki Carry yang akan menuju Jayapura. Aris naik tanpa sepatu, “tolong antar saya ke Hamadi, mereka menculik bapak Theys’, pintanya kepada pemilik mobil itu. Penumpang dalam mobil belum menyadari apa yang terjadi meski mereka sempat bingung dengan penampilan Ari yang minta diturunkan di markas Kopasus Tribuana di Hamadi, dan mobil Carry melanjutkan perjalanan ke arah Jayapura. Keberanian Ari untuk kembali ke markas kopasus bukan tanpa alasan, sebab Ari melihat dan mengenali wajah penculik sebelumnya.

Tim Penculik tentulah sudah diatur dengan rapi. Selain ada yang melakukan eksekusi, ada pula yang bertugas mengamankan barang bukti, membersihkan TKP setelah kejadian seperti menyuruh mobil jalan terus pada saat beberapa mobil berusaha berhenti untuk mencari tahu peristiwa malam itu. Ada juga orang yang terlihat berjaga menunggu mobil yang melewati tikungan di jalan ke arah pasar Yotefa. Orang tersebut akhirnya menumpang mobil jenis pick up. Diperkirakan, seketika setelah mereka menguasai mobil Theys, saat itu juga dilakukan pembunuhan, sambil mobil masih dalam keadaan jalan. Di dashboard mobil, nampak bekas sepatu, mungkin milik salah seorang pembunuh yang mencoba untuk mencekik Theys.


bersambung . . .

0 komentar:

hardin-andawat.papua